Sabtu, 22 November 2008

IV. Perjuangan Datuk Badiuzzaman Melawan Belanda

Masyarakat di Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme Belanda adalah masyarakat agro-maritim. Masyarakat tidak hanya hidup dari usaha pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga perdagangan antarpulau, bahkan dengan negara-negara tetangga. Pedagang-pedagang dari pantai utara Jawa, seperti Jepara, Demak, Rembang, atau Tuban berlayar ke arah timur menuju Maluku, Nusa Tenggara, untuk menukar berasnya dengan kayu cendana, damar, pala, merica untuk dijual ke Tumasik (Singapura) atau ke pasar internasional di Malakka. Kesultanan Aceh sudah membina hubungan diplomatik yang rapat dengan Kerajaan Turki Ottoman, Inggris, maupun Cina.


Sementara itu, pedagang-pedagang dari Sumatera Barat juga sangat akrab dengan Malakka yang waktu itu menjadi pusat perdagangan. Struktur masyarakat adalah struktur feodal atau kerajaan dengan raja, panembahan, atau datuk beserta keluarga berperan sebagai elite yang memimpin masyarakatnya. Ketika kekuatan kolonialisme Belanda datang, golongan atau kelas pedagang belum sempat mengalami transformasi menjadi kelas menengah yang membawa perubahan masyarakat yang lebih egaliter dan modern dengan budaya industri. Masyarakat pesisir yang hidup dari perdagangan sedikit demi sedikit tersisih, karena kedaulatan daerah pesisir diserahkan kepada kekuasaan Kompeni Belanda. Penyerahan itu dilakukan sebagai kompensasi atas bantuan militer dalam perang suksesi raja-raja maupun sebagai ganti rugi atas kekalahan perang terhadap kekuasaan kolonial. Sementara itu, masyarakat pedalaman yang umumnya agraris dengan pola ekonomi swasembada dan elite kerajaan yang memerintah harus menghadapi perubahan-perubahan radikal, karena penguasaan kolonialisme Belanda atas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia demi keuntungan negara induknya, dengan liberalisasi dan swastanisasi hampir di semua aspek kehidupan. Struktur pemerintah tradisional dengan raja atau bupati tetap dipertahankan tetapi hanya sekadar perpanjangan tangan kebijakan kolonial. Di daerah yang tradisinya kuat, seperti di Jawa maka sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dijalankan oleh Belanda. Sementara untuk lingkungan masyarakat yang lebih egaliter, seperti di daerah Sumatera Timur dan Utara, Belanda menerapkan pemerintahan langsung (direct rule).

Menghadapi kekuatan modal dan kekuasaan politik asing yang luar biasa, reaksi masyarakat itu bermacam-macam, ada yang takluk menyesuaikan diri, bergabung dengan penguasa baru yang datang, atau menolak dengan cara melawan kekuatan kolonial itu. Sikap, usaha, dan perjuangan mereka yang menolak kekuatan asing untuk mengatur dan mengeksploitasi penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungannya itu merupakan embrio bagi semangat nasionalisme yang menjadi dasar bagi pembentukan suatu bangsa. Perjuangan dan jerih payah serta pengorbanan mereka yang luar biasa memiliki nilai simbolis sebagai bagian dari tahapan kelahiran bangsa Indonesia. Dalam cita-cita, jerih payah, dan pengorbanan harta serta jiwa raga merekalah, bangsa ini dilahirkan dan dibesarkan hingga saat sekarang.

A. Politik Kolonial Belanda di Sumatera Abad XIX
Liberalisme sebagai ideologi yang melanda Eropa Barat ternyata juga sangat memengaruhi politik kolonial terhadap tanah jajahan. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang ditetapkan dalam Regering Reglement (Peraturan Pemerintah) tahun 1836 oleh Gubernur Jenderal van den Bosch telah membuat Negeri Belanda yang semula defisit bisa menikmati surplus yang besar (batig slot). Pada waktu itu belum ada pemisahan antara kas Belanda dan kas Hindia Belanda, sehingga uang dari Hindia Belanda terus masuk kas di negeri Belanda. Antara 1836 - 1887 mencapai jumlah besar, yaitu f. 823 juta. Perlu diketahui pada tahun 1920-an, buruh atau kuli dapat hidup (makan dan minum) dengan uang “sebenggol” (0,5 sen) sehari. Untuk mempertahankan keuntungan yang besar dari tanah jajahan, pemerintah kolonial mengundang sektor swasta untuk menanamkan modalnya. Lewat usaha para penanam modal itu, ekspor dari sektor swasta yang besarannya hanya sepertiga dari keseluruhan ekspor pada 1856 dapat ditingkatkan menjadi separo pada 1865. Tanah dapat disewakan dalam jangka panjang mulai dari 20 tahun hingga 75 tahun atau lebih. Sayangnya pada masa itu harga-harga komoditas mengalami fluktuasi yang sukar diprediksi. Fluktuasi atau naik turunnya harga itu dipicu oleh kemajuan komunikasi dengan dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan penggunaan kapal uap yang kemampuan jelajahnya lebih cepat dari kapal layar biasa. Harga gula dan kopi jatuh. Ekspor kopi mengalami kemerosotan, sementara pabrik gula menjadi sulit karena penyakit sereh yang melanda tanahaman tebu tahun 1882.

Harga gula juga turun drastis karena persaingan ketat dengan gula biet dan gula dari Amerika. Meskipun sempat mengalami booming ekspor, tanaman kopi juga diserang habis oleh hama tanaman sehingga perlu mendatangkan jenis kopi lain, yaitu coffea Arabica dengan coffea Liberea dan kemudian dengan coffea Robusta. Tanaman lain yang mulai dicoba adalah tanaman karet yang tidak menarik bagi rakyat jajahan karena di samping memerlukan modal besar juga bersifat jangka panjang. Seperti diketahui, karet bisa dipanen atau disandap setelah berusia 8 tahun ke atas. Untuk mengatasi keadaan itu, pemerintah mengadakan proses diversifikasi ekspor, tidak mengherankan bila pada 1885 ada 115 jenis barang ekspor, dan pada 1905 terdapat 229 jenis. Di antara jenis baru yang menonjol, seperti Kina sejak 1880, Karet sejak 1890; Kopra sejak 1885.

Arus liberalisasi itu mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mencari peluang industri pertambangan, seperti batubara, timah (1865), minyak tanah (1890), dan batu pualam sebagai alternatif dari sektor pertanian atau agribisnis yang sudah mendapat saingan berat di pasaran dunia. Pemerintah kolonial melihat keuntungan yang bisa ditangguk bukan hanya di produksi komoditas ekspor (planter), tetapi juga dari monopoli sektor perkapalan dan perdagangan yang semula hanya dipandang sebagai usaha sampingan. Dalam perkembangan kenaikan barang ekspor terlihat bahwa semakin besar hasil-hasil yang dieksploitasi dari daerah luar Jawa. Tanaman pangan (food crops) makin tersisih dengan pertumbuhan tanaman untuk ekspor yang dijual (cash crops). Pemerintah Kolonial memang lebih berpaling ke daerah luar Jawa, karena mobilisasi tenaga di daerah pedesaan Jawa akan menghadapi banyak kesulitan yang muncul akibat ikatan desa dan ikatan feodal masih mengekang tenaga rakyat, Heeren-diensten (kewajiban untuk raja), pancen diensten (kewajiban untuk menyerahkan sebagian hasil bumi kepada pejabat pemerintah), dan desa diensten (kewajiban gotong royong desa) sudah sangat melembaga. Ikatan-ikatan itu hanya dapat dikurangi atau dihapuskan dalam waktu lama. Di Jawa Tengah, misalnya, wajib kerja dikaitkan dengan hak menguasai tanah, di Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat, wajib kerja lebih dihubungkan dengan keluarga (cacah).

Penanaman modal dalam industri yang gencar dijalankan itu dibarengi dengan kapitalisasi finansial dengan munculnya perusahaan-perusahaan swasta. Usaha perusahaan itu diperlancar lewat kemudahan pembebasan tanah dengan UU Agraria tahun 1870 dan murahnya upah buruh lewat Koeli Ordonantie tahun 1880 (tepat 10 tahun setelah perdagangan budak resmi dihapus atau dilarang) yang mengatur hubungan antara buruh atau kuli dengan majikan, khususnya untuk daerah perkebunan di Sumatera Timur dan daerah luar Jawa pada umumnya. Pada tahun-tahun itu juga dibuka banyak bank yang dapat memberi kredit bagi perusahaan-perusahaan swasta. Gubernemen juga mengeluarkan modal untuk membangun infrastruktur seperti kereta api, irigasi, dan pelabuhan. Pada tahun 1878 UU Gula menghapus tanam paksa gula sehingga gula menjadi komoditas yang secara bebas diperdagangkan. Pola dan sistem pertanian yang pada masa sebelumnya lebih bersifat swadaya (self suffieciency) diubah total menjadi pertanian yang melulu mengabdi pada komoditas ekspor. Tanah jajahan hanya menjadi sumber tenaga buruh yang murah dan wahana eksploitasi sumberdaya alam untuk memperoleh keuntungan dalam pasaran dunia. Perdagangan hanya menguntungkan negara industri yang menjajah dan cikal bakal “industri” pribumi di pedesaan terdesak bahkan mati. Dalam tahap ini pemiskinan negara jajahan dimulai. Tanaman pangan yang menjadi andalan swasembada desa atau daerah terdesak dan bahkan tidak mendapat tempat, karena merajalelanya tanaman ekspor yang digalakkan dan bila perlu dipaksakan oleh pemerintah. Pemerintah kolonial mendapat peluang untuk mendukung eksploitasi tanah jajahan dengan proses swastanisasi itu dalam banyak sektor kehidupan, diiringi dengan pemantapan administrasi birokrasinya. Dalam kaitan itu, pada 1855 didirikan departemen keuangan, pertambangan dan perkebunan, departemen hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen kultur gubernemen, dan pekerjaan umum. Disusul juga dengan pendirian beberapa departemen lain pada 1866 dan 1870, seperti departemen administrasi, pendidikan, agama, industri, departemen kehakiman.


Perluasan Wilayah Kolonial Belanda
Perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda yang disebut Traktat London tahun 1824 menyepakati bahwa Belanda dapat mengambil alih kembali tanah jajahannya di Hindia Belanda dengan tetap menghormati kedaulatan politik Aceh, Bali, dan kerajaan-kerajaan lain, seperti Siak, Deli, Sunggal, dan Serdang. Dengan kerjaan Aceh pun Belanda mengikat perjanjian damai pada tahun 1857. Langkah Belanda itu juga dibarengi dengan diplomasi ke kerajaan Siak, sehingga tahun 1858 dicapai Traktat Siak. Dalam perjanjian itu Sultan Siak meletakkan kerajaannya di bawah pemerintahan Hidnia Belanda. Sebagai imbalannya Belanda mengakui (pasal 2 ayat 2) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanan Deli, Serdang dan Asahan. Traktak Siak dipakai Belanda untuk menarik sultan-sultan Deli, Serdang, dan Asahan secafra terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Dengan pengakuan atas Sultan Siak itu secara tidak langsung mereka mengakui kekuasaan Belanda. Tindakan Belanda itu oleh Sultan Aceh Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap melanggar kedaulatan kerajaan Aceh, karena Aceh mempunyai hak-hak (meskipun tidak di seluruh Siak) di perbataasan bagian Utara, yaitu Deli, Serdang,d an Asahan yang merupakan daerah pengaruh kesultanan Aceh. Gubernur Jenderal di Batavia juga mengirim surat perintah kepada Residen Riau, Schiff yang isinya untuk perintah untuk mengusahakan agar kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatera Timur yang oleh Sultan Aceh masih dianggap sebagai wilayahnya secara tidak langsung. Untuk melaksanakan perintah itu , Residen datang ke Deli, Serdang, dan Asahan guna membujuk kepala-kepala derah tersebut. Hanya Sultan Deli yang langsung menerima mau tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, sejak pertengahan tahun 1862 Belanda menempatkan pasukannya di Deli, Langkat,d an Batu Bara.

Abad 19 dalam sejarah Indonesia merupakan abad terjadinya penetrasi birokrasi dan kekuasaan kolonial Belanda yang dibarengi dengan semangat kapitalisme di beberapa wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dibubarkan 31 Desember 1799, peran VOC diambil alih Pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan Belanda menempatkan Gubernur Jenderal di Batavia sebagai perpanjangan tangannya. Melalui Gubernur Jenderallah intensifikasi perdagangan dan eksploitasidigiatkan demi mengisi kas kerajaan Belanda yang defisit , termasuk pengiriman ekspedisi militer dan sipil ke luar Pulau Jawa. Pada pertengahan abad 19, sejumlah pengusaha Belanda dan Eropa lainnya telah membuka perkebunan tembakau yang besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di tanah Deli. Melalui perkebunan, masyarakat Sumatera Timur (Deli) diperkenalkan dengan nilai-nilai kapitalisme modern dan terjadilah interaksi antara masyarakat yang daerahnya dipergunakan sebagai areal tanaman tembakau dengan berbagai kehidupan perkebunan yang didiami bangsa Eroipa. Interaksi ini sebenarnya berlangsung dalam suasana yang tidak seimbang, yakni antara dua sisitem social yang sama sekali berbeda. Interaksi ini pada gilirannya menimbulkan benturan antara masyarakat Sumatera Timur (Deli) dengan para pendatang/pengusaha perkebunan orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Benturan itu sering terjadi karena pihak perkebunan membutuhkan banyak tanah-tanah konsesi yang secara tradisional adalah milik para datuk/raja Urung mereka.

Keberhasilan perusahaan perkebunan mencari tanah karena adanya dukungan politik dari Sultan Deli dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Belanda dan Sultan Deli memiliki kepentingan tersendiri. Pemerintah Belanda berusaha menciptakan kawasan Sumatera Timur/Deli menjadi daerah penghasil komoditi perdagangan untuk pasar Eropa. Tujuan ini sesuai dengan politik pintu terbuka (opendoor politiek) yang sedang dijalankan pemerintah Belanda mulai 1870. Opendoor Politiek dijalankan dengan maksud mencari investor asing agar mau menanamkan modalnya dalam industri perkebunan di Indonesia. Untuk mencapai ambisi besar itu ada dua kebijakan penting yang diambil pemerintah kolonial yakni pertama, menerapkan Undang-Undang Agraria 1870 –perangkat hukum untuk memperoleh akses tanah konsesi - dan menjaga “rust en orde” (stabilitas keamanan dan ketertiban) di wilayah Hindia Belanda, termasuk Deli. Sultan Deli juga memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan perkebunan di Sumatera Timur. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan sangat menaikkan gengsi dan martabatnya dan sekaligus secara juridis-politis wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda. Sebuah usaha yang sebelum masuknya Belanda sudah dilakukan oleh Kesultanan Deli baik secara damai (kawin politik) maupun secara kekerasan (perang 1822) untuk menguasai wilayah Sunggal.

Sebaliknya adanya skenario besar dari dua kekuasaan itu menimbulkan malapetaka bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan ekses terjadinya kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dengan sistem ekonomi modern/kapitalisme. Konflik terbuka antara rakyat Sunggal dibawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal terjadi 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Ini membuktikan bahwa konflik itu (latar belakang perjuangan Datuk Badiuzzaman) erat sekali kaitannya dengan masalah tanah. Menurut para tuan kebon yang pertama, pada dasarnya para penguasa pribumi itu sebetulnya adalah orang-orang biasa yang tidak jauh berbeda dengan para kawulanya. Semula kekuasaanya mereka terbatas, tetapi kemudian kekuasaannya mereka menjadi besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropah untuk digunakan dalam jangka panjang, mereka menyerobot hak kepemilikan tanah atas tanah yang sebelumnya tidak mereka punyai.

Dengan Traktat Siak, pemerintah kolonial Belanda menemukan jalan pintas untuk menuju daerah Aceh. Lewat bujukan Belanda dapat masuk ke Deli, dan dengan kekerasan (Sunggal, Serdang,d an Asahan) kerajaan-kerajaan itu hendak ditaklukkan. Penaklukan itu untuk mengepun kesultanan Aceh, dari sebelah Barat infiltrasi militer bermarkas di Padang (Gubernur Sumatra Barat) dan dari sebelah timur penyerangan dipusatkan di Riau di bawah pimpinan Residen Riau, Schiff. Guna mengamankan diri dalam kancah diplomasi inetrnasional, Belanda mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Inggris, sehingga disepakati Traktat Sumatera yang dibuat bersama Inggris tahun 1874 pemerintah Belanda mendapat keleluasaan untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera, yaitu Dengan traktat itu pemerintahan kolonial Belanda dibenarkan untuk melakukan—menurut istilah mereka--pasifikasi” (usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik karena ada pihak-pihak yang bertikai dan berseteru maupun “pembudayaan” karena penduduk pribumi dipandang masih “terbelakang”) di seluruh kerajaan-kerajaan di Sumatera. Konflik itu menyangkut masalah tanah. Para pemimpin bumiputera, baik para raja, bupati, pemimpin tradisonal, atau elite lokal sebetulnya menghadapi masalah yang sama seperti rakyatnya. Semula kekuasaanya mereka terbatas atas tanah mereka, tetapi kemudian kekuasaan mereka menjadi besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropa untuk digunakan dalam jangka panjang, berkat uang sewa yang mereka peroleh. Seturut UU Agraria tahun 1870, semua tanah yang bukan milik masyarakat pribumi (kerajaan tradisonal) adalah ranah pemerintah Hindia Belanda (domein van de staat). Jadi, tanah-tanah yang ada bisa disebut “tanah bebas” yang bisa disewa oleh baik warga negara Belanda di Nederland maupun yang berada di Hindia Belanda atau kepada perusahaan yang terdaftar di Hindia Belanda. Areal maksimal yang disewa sebesar 500 bau dengan sewa antara f.1 sampai f.6. Tanah pribumi yang dikuasai berdasarkan hukum adat hanya dapat disewa selama 5 tahun, sedangkan tanah milik mereka untuk 20 tahun. Selanjutnya perjanjian harus terdaftar. Suatu akibat dari peraturan itu adalah adanya kecenderungan menjadikan status tanah yang disewakan diubah menjadi milik yang menyewa, sehingga para pengusaha atau oknum aparat pemerintah, baik pihak bumiputera maupun orang Belanda, dapat menekan biaya sewa tanah atau memperoleh kekayaan lewat pencaplokan tanah-tanah rakyat itu. Keadaan itu dengan aneka permainan dan trik khusus untuk menguasai tanah menjadi sumber konflik sosial yang besar.

Konflik atau pergolakan di daerah, seperti daerah Deli dan Sunggal merupakan akibat langsung dari proliferasi masyarakat di Indonesia. Artinya, interaksi masyarakat Indonesia demikian majemuk dari suku, kepentingan, budaya, maupun agama dalam dirinya sendiri mudah atau rentan terhadap konflik yang sebetulnya internal. Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena berbeda kepentingan dan “pandangan politik” menjadi berseberangan dalam menghadapi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, dalam setiap konflik selalu ada peluang bagi Belanda untuk mempasifikasikan dan menanamkan kekuasaan serta mengatur pemerintahannya. Dapat dikatakan, tanpa politik divide et impera (membagi dan menguasai) pun, masyarakat di Indonesia yang terdiri dari aneka suku, agama, kebudayaan, adat-istiadat, dan kebudayaan rawan akan konflik sosial. Apalagi dengan kehadiran kekuatan asing yang memang memanfaatkan secara optimal konflik-konflik itu agar lebih mudah mengadakan eksploitasi tanah jajahan bagi kepentingan negera induknya. Di Sumatera Utara pada 1850 timbul pergolakan maka Belanda bertindak cepat dengan menyusun pemerintahan secara langsung. Setelah membuka perkebunan di Besuki, Jawa Timur sejak 1861 Nienhuys pada bulan Juli tahun 1863 pergi ke Sumatera untuk memperluas usahanya di daerah itu. Dengan percobaan sederhana dia membuka 75 ha perkebunan tembakau di Deli. Daerah Deli terletak di Sumatera Timur antara Aceh dan Asahan; atau tepatnya daerah antara Serdang, Tanah Karo, dan Langkat. Daerah itu merupakan dataran rendah (aluvium) yang meninggi sampai 700 m di atas permukaan laut sehingga ada sebagain daerah itu yang merupakan dataran tinggi. Sungai-sungai daerah itu bermuara di Selat Malakka. Di daerah itu tidak dikenal musim kering, karena sepanjang tahun tetap bisa turun hujan. Dengan suhu udara sedang sekitar 26,7 derajat Celcius maka daerah ini cocok untuk daerah pertanian. Hasil kerja Nienhuys di tanah Deli mewujudkan satu muatan tembakau pertama sampai di Rotterdam pada bulan Maret 1864, setelah mengalami dan mengatasi berbagai kesulitan dan kegagalan. Usaha itu berhasil berkat dukungan perusahaan, seperti van den Arend dan Mathieu & Co pada 1865 dapat dikirim 189 bal tembakau. Untuk produksi itu Nienhuys telah mengerahkan tenaga kerja Cina dari Singapura sebanyak 120 orang. Ia mengusulkan investasi pembukaan perkebunan kopi, cokelat, dan kelapa. Sayangnya, usulan tersebut waktu itu belum dipandang memiliki prospek yang baik sehingga tidak ada yang mau menerima. De Munnick sebagai pengganti Nienhuys sebagai pimpinan usaha perkebunan pada 1887 mulai membuat kontrak untuk 99 tahun tanah perkebunan sebesar 2.000 bau. Sementara itu, datang juga pengusaha perkebunan baru Moss dan Baker dari Swiss dan von Mach dari Jerman. Kecuali perkebunan tembakau mereka juga tertarik mengusahakan pala dan kelapa. Tanah untuk kedua tanaman itu disewa langsung dari rakyat. Rupanya usaha pengusaha kebun itu berhasil. Dari hasil ekspor dari Kesultanan Deli antara tahun 1863- 1867 diketahui bahwa ekspor tembakau dan lada mengalami peningkatan yang signifikan, sementara untuk lada hitam dan buah pinang yang dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Setelah berhasil mengumpulkan modal kembali, Nienhuys kembali ke Sumatera Utara dan membuka perkebunan yang terletak antara Sungai Deli dan Sungai Percut. Hasil ekspornya pada 1868 memberi keuntungan 100% lebih besar, maka dibentuk N.V. Deli Maatschappij dengan separo modalnya dari Nederlandsch Handels Maatschapij. Kisah sukses Nienhuys itu mengudang banyak pemodal Eropa datang, seperti perkebunan Carlsruhe, Vesuvius, Catsburg, dan Hospitality. Deli Maatschapij memperluas usahanya dengan membuka perkebunan kopi pada 1880 dan karet pada 1901. Daerah operasinya meliputi Deli, Serdang, dan Langkat dengan luas arealnya bertambah dari 7000 ha menjadi 180.000 ha.

Kisah sukses Deli Maatschapij itu tidak lepas dari dukungan Sultan Deli yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan perkebunan di kawasan itu. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan sangat menaikkan pendapatan, kekayaan, dan juga martabatnya sebagai seorang sultan. Secara juridis-politis, wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda dan dengan kesamaan kepentingan ekonomi itu, lebih mudah beraliansi politik dan militer dalam menghadapi kerajaan tetangganya, yaitu Sunggal. Usaha untuk menguasai Kerajaan Sunggal sudah dijalankan oleh para sultan Deli sebelum Belanda masuk ke wilayah itu, baik usaha secara damai lewat politik perkawinan keluarga kedua kerajaan itu, maupun secara kekerasan lewat perang pada 1822 agar dapat menguasai wilayah Sunggal. Sebaliknya, kekuasaan Belanda dan Deli yang berkolaborasi menimbulkan masalah bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal dengan sengaja tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan akibat dari kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dan sistem ekonomi kapitalistik yang datang dengan modal besar dan didukung oleh kekuatan hukum dan politik yang kuat. Konflik terbuka antara rakyat Sunggal di bawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal, dimulai pada tanggal 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Pada awalnya prosesnya begitu gampang. Residen Riau yang ketika itu membawahi Sumatera Timur secara terbuka menawarkan Deli sebagai daerah untuk perkebunan swasta. Sejalan dengan itu, maka pada 1866 Sultan Mahmud dari Deli menyerahkan tanah yang sangat luas memanjang dari Mabar sampai ke hulu Deli Tua, antara Sungai Deli dan Percut (sekitar 12.000 bau) untuk masa sewa selama 99 tahun tanpa pajak kepada Nienhuys dan dua orang Swiss dan seorang Jerman untuk ditanami tembakau.

Pada masa awalnya proses budidaya tembakau masih tetap menggunakan cara tradisional, yakni memberikan “uang muka” (voorscot) pada orang Batak Karo untuk mau menanami lebih banyak tembakau di lahan konsesi untuk mereka. Akan tetapi, upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan. Nienhuys akhirnya memutuskan untuk membuka perkebunan sendiri dengan menggunakan tenaga kuli, namun orang Melayu dan Batak tidak bersedia menjadi tenaga kuli. Kesulitan akan tenaga kerja kemudian dapat diatasi dengan merekrut tenaga kuli Cina dari luar. Awalnya para kuli ini menerima uang muka dari sejumlah uang yang akan diberikan oleh Nienhuys pada waktu musim tanam berakhir, yang besarnya sangat tergantung pada jumlah dan mutu tembakau yang dipanen. Pada waktu itu, sistem kerja upahan belum berlaku. Yang ada adalah sistem kerja borongan. Para mandor dari kelompok kuli Cina bertindak sebagai pemborong. Kepadanya diberikan sebidang tanah dan bibit yang pada akhir musim tanam harus dijual kepada pemberi borongan.

Sejak 1870 mulailah dibuat kontrak langsung dengan masing-masing kuli dan para mandor diangkat sebagai pengawas. Adanya campur tangan langsung pengusaha dalam pengorganisasian produksi menandai terjadinya peralihan ke kapitalisme industri yang sesungguhnya di Sumatera Timur. Tidak lama kemudian terbukti bahwa tembakau Deli merupakan produk yang paling menguntungkan di pasar Eropa. Untuk usaha budidaya tembakau dalam skala besar dibutuhkan modal yang banyak. Atas keberhasilan Nienhuys maka para pemodal Eropa berlomba menanam investasi di industri perkebunan tembakau di Deli. Jumlah perkebunan meningkat dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874 dan hingga 1876 sudah ada 40 perkebunan yang beroperasi di Deli, Sumatera Timur. Sejalan dengan itu, berbagai bangsa berada di kawasan ini, seperti Belanda, Swiss, Jerman, Polandia, Inggris, Denmark, Cina, Keling, dan Jawa. Orang Cina bahkan telah mencapai 7.600 orang atau rata-rata kurang dari 200 orang di tiap perkebunan. Keberhasilan para pemodal Eropa di industri perkebunan tembakau ternyata membawa konflik bagi masyarakat Sunggal. Hubungan Sunggal dengan Deli memang sudah tidak harmonis sejak Deli menyerang Sunggal pada 1822. Kini, dengan kehadiran usaha perkebunan itu, hubungan kedua kerajaan itu semakin buruk. Permasalahannya adalah karena, sebagian besar tanah yang diserahkan Sultan Deli kepada para perusahaan perkebunan adalah wilayah kekuasaan Sunggal dan bahkan jauh masuk ke wilayah Datuk Sepuluh Dua Kuta dan Datuk Sukapiring. Tindakan Sultan Deli ini telah menimbulkan kegelisahan dan tantangan rakyat. Berbagai keberatan yang diajukan tidak digubris oleh Sultan Deli. Bahkan pada 1870, kembali Sultan Deli memberikan konsesi tanah kepada perusahaan De Rotterdam. Rakyat dilarang menanam tembakau atau tanaman lainnya, padahal tanah itu adalah tanah adat yang sudah mereka miliki selama berabad-abad secara turun temurun. Akhirnya hubungan Deli dan Sunggal memanas.

Datuk Sunggal juga tidak begitu senang dengan kehadiran orang-orang Cina di perkebunan-perkebunan yang masuk wilayah kekuasaan Sunggal, karena kehadiran mereka sangat mengancam kelangsungan perekonomian rakyat Sunggal dan secara tidak langsung merusak moral masyarakat. Sebagaimana dikatakan Datuk Kecil ketika ia diinterogasi di penjara Tanjung Pinang Riau bahwa, “Mereka tidak setuju tanah rakyat yang subur dibagi-bagi begitu saja seenaknya oleh Sultan Deli kepada perkebunan-perkebunan Belanda”. Dengan datangnya orang “Belanda kebon” (pengusaha Belanda yang bergerak dalam usaha perkebunan), juga berduyun-duyun masuk orang Cina yang kemudian diberi monopoli pachter berdagang garam, candu, dan membuka tempat-tempat perjudian di mana-mana. Sebagai contoh dikemukakan bahwa penjualan candu diborongkan di Sunggal saja naik dari $50,- menjadi $600.-dalam dua tahun saja.

Kehadiran pengusaha perkebunan yang kapitalistik dan orang-orang Cina sangat mengancam jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) orang-orang Batak Karo yang memang sudah tertanam sejak lama. Semangat kewirausahaan itu kini mendapat tantangan dari pendatang baru yang didukung secara tidak fair oleh kekuatan kolonial Belanda yang memanfaatkan orang-orang Cina itu untuk kepentingan mereka. Konversi tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan, berarti tanah masuk dalam objek komersialisasi. Campur tangan orang-orang pemerintahan atau gubernemen ke desa-desa mencakup pernyataan domein (domein verklaring) yang sering mengabaikan hak-hak rakyat menurut hukum adat, sehingga rakyat tidak dapat lagi memperluas tanah garapannya lagi. Dengan Aturan Pembukaan (Ontginning Ordonantie) yang diberlakukan pada 1874, setiap pembukaan tanah baru memerlukan izin pemerintah, sedangkan berdasarkan UU Agraria banyak tanah yang belum terbuka tersedia seluas-luasnya bagi perusahaan asing dengan kapitalismenya. Perlawanan masyarakat Karo segera terjadi secara sporadis sehingga mempersulit para pengusaha untuk begitu saja membuka dan menguasai lahan baru. Kesulitan pengusaha Nienhuys mengelola budi daya tembakau pada masa-masa awal kehadirannya di Deli tidak bisa dilepas dari faktor kuatnya usaha orang-orang Karo tersebut. Sudah sejak awal abad XIX orang-orang Batak Karo sudah membuka kebon lada dan menanam tembakau. Bakat mereka sebagai pengusaha sangat tampak, menyebabkan mereka sejak awal tidak bersedia menjadi kuli di perkebunan tembakau. Karl J. Pelzer menyatakan bahwa “[...] Bakat orang Batak Karo sebagai pengusaha memang menonjol. Dengan kecerdasan yang patut dipuji, beberapa pemimpin mereka mampu menemukan jalan dan cara untuk mengorganisasikan industri yang baru disertai sistematisasi produksi dan pemasarannya. ” Kehadiran orang Cina di Sunggal selalu dicurigai dan bahkan ada yang ditangkap oleh Datuk Badiuzzaman dan dipenjara atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata dan menjual candu. Penangkapan inilah yang kemudian menjadi argumentasi kuat Pemerintah Belanda untuk menggempur Sunggal. Karena melalui penjelasan Orang Cina (bernama Anton) inilah diketahui bahwa ada mobilisasi kekuatan bersenjata yang tiap hari dilakukan oleh Datuk Sunggal. Namun sebetulnya, penyebab konflik itu secara kultural dapat dijelaskan karena terjadinya perubahan yang demikian cepat di Deli. Hanya dalam tempo delapan tahun sejak 1864, hubungan-hubungan sosial tradisional terganggu oleh hadirnya kapitalisasi perkebunan. Perubahan itu bahkan lebih cepat dari yang apa yang dapat diperhitungkan orang-orang pribumi. Akibatnya, bila di daerah lain, kemajuan secara bertahap dapat diterima oleh masyarakatnya secara bertahap pula, maka di Deli perubahan itu demikian cepat sehingga mengganggu orde tradisional. Dengan demikian, semakin dalam penetrasi birokrasi kolonial memengaruhi struktur sosial ekonomi-politik komunitas bumiputra, semakin mendasar pula konflik kepentingan yang diakibatkan.

Antara Sunggal dan Deli
Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si pendiri kerajaan Sunggal. Adir mempunyai anak sepuluh orang, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota, dan Sukapiring. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Sesuai dengan adat Karo, maka Deli adalah “anak beru” dari Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan diserahkan Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Deli. Secara ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi karena Deli menguasai pantai dan muara-muara Sungai yang vital bagi impor dan ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli, maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan-keturunannya raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang Dipertuan Agung” dan “Arbiter” (hakim tertinggi) yang memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi posisi sebagai “Ulon Janji” (De Voornaamste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di Deli, maka ia berhak membacakan penabalan/pengesahan raja-raja Deli. Ketiga, masing-masing raja Urung (Datuk ber-Empat) merdeka dalam wilayah masing-masing.

Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang surut. Pada 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan berusaha menaklukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan politik, yakni menyunting Dajan Sermaidi (Sermaini) anak Datuk Undan raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi bawahan Deli hingga akhirnya pada 1822 Deli menyerang Sunggal. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal

masa itu. Serangan ini bukan membuat Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo. Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar Laut (1823)
memutuskan menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun Deli takluk pada Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan kuning, dengan cap/lambang gajah. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut yang telah berusia 45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Abdul Hamid, Abdul Jalil, dan Mahini, menjelaskan bahwa ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski telah ada perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara Sunggal dan Deli. Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan yang ramai dikunjungi orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual hasil-hasil buminya. Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris hendak membuka perdagangan dengan Sunggal, maka perlu dibuat Pos Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu, Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit hasil-hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia. Posisi Sunggal yang strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di bawah kepemimpinan Datuk Akhmad (1845-1857) dan Deli di bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar. Datuk Akhmad bahkan diberi gelar Datuk Indra Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama Serbanyaman sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah subur di daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan/pemerintah kolonial Belanda, maka hubungan Deli-Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1875. Perang itu, bagi Deli adalah upaya klasik untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal adalah upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum adanya Kerajaan Deli.

Datuk Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada 1845-1857. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal (sekarang terletak di Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan.) Ia mempunyai delapan orang anak: 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim, Datuk Mohd. Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif, Aja Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Datuk Akhmad mempunyai saudara Datuk Jalil, Datuk Muhammad Dini (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk Jalilb kawin dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk Muhammad Dini (Kecil) kawin dengan puteri Selesai dan mempunyai dua orang anak Suman dan seorang perempuan. Ketika Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzaman masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai tahun 1866. Dia adalah seorang yang sangat anti Belanda dan sekaligus anti Deli. Karena bertindak sebagai pemangku Sunggal selama 9 tahun, tidak heran bila ia mempunyai pengaruh yang kuat di Sunggal, termasuk kepada kemenakannya Datuk Badiuzzazman. (Ketika perlawanan meletus kontak antara Datuk Badiuzzaman di Sunggal dengan Datuk Djalil dan Datuk Kecil di desa Gajah dilakukan dengan melalui kurir).

Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Udang Agraria, pihak perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa meyewa tanah dengan jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah 75 tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebuah lahan yang habis dipanen harus dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.

Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan gerakan fasifikasi ke Deli, sangat membutuhkan bantuan para inverstor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu. Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisonal (Sultan Deli). Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzzaman Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak Karo dari pegunungan mengadakan rapat di sebuah kebun lada. Rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dari pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Lasykar Aceh, Alas, Gayo.

Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman mengatakan bahwa “perselisihan sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan marilah kita bersama-sama melawan Belanda yang hendak merampas tanah kita…”. Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri.” Rapat itu memutuskan (a) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dan segala perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus dilenyapkan; (b) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur untuk masyarakat; (c) Sunggal. Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya. Untuk merealisasi hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang dipusatkan di Kampung Gadjah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dari orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil) dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal dengan “tapian jawi” (pemandian orang Islam).

Datuk Badiuzzaman dan Perang Sunggal Mei - Oktober 1872
Dukungan masyarakat Sunggal terhadap rencana perlawanan Datuk Badiuzzaman terhadap Belanda demikian besar. Dukungan itu tampak dengan banyaknya sumbangan uang dari setiap rumah tangga di Sunggal sebesar 2 sampai 10 dollar yang digunakan untuk mempersiapkan basis pertahanan perang. Para pejuang Sunggal kemudian menempelkan pernyataan perang yang menurut kebiasaan orang Karo dinamakan “musuh beringin” pada tempat-tempat tertentu yang menyatakan bahwa kepada mereka yang berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar. Melalui Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulong Barat sebagai komandan yang langsung menggerakkan perlawanan rakyat di lapangan terus dilakukan persiapan. Timbang Langkat dijadikan basis pertahanan dengan diperkuat oleh 1500 pasukan. Bukan hanya itu, koordinasi dengan Kejeruan Selesai dan Bahorok di Langkat terus digalakkan. Koordinasi ini relatif mudah karena ada hubungan kekeluargaan antara para pembesar Sunggal dan kedua Kejeruan tersebut, yakni istri Datuk Kecil dan Datuk Jalil adalah putri dari Kejeruan Selesai. Kekuatan para pejuang Sunggal sudah mencapai 1000 orang Karo dan 500 orang Melayu. Sebagian besar mereka dipersenjatai dengan senapan pemburas (senapan locok). Dukungan masyarakat Karo sebenarnya bukannya hanya dari Sunggal, tetapi juga dari Tanah Tinggi Karo. Sebagaimana dijelaskan di bagian depan, bahwa sebagai Raja-Raja Urung Sunggal adalah bermarga Surbakti dari Kampung Gadjah di Tanah Karo, maka tidak mengherankan jika kecintaan orang-orang Karo terhadap Datuk Badiuzzaman demikian tinggi. Bagi orang Karo, marga Surbakti memiliki nilai lebih daripada orang Karo lainnya. Terutama sejak Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti mengambil sikap menentang penjajahan Belanda. Masyarakat Karo di Tanah Tinggi Karo memiliki strategi dan cara tersendiri dalam memberikan bantuan kepada perjuangan Datuk Badiuzzaman. Dalam memberikan bantuan tersebut, menurut Tampak Sebayang, ada enam jalur perjuangan yang secara tradisional dipergunakan masyarakat Karo. Jalur perjuangan ini sebenarnya juga adalah jalur budaya dan perdagangan yang secara tradisional digunakan orang-orang Karo sejak dahulu untuk berdagang dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya di daerah Deli, Langkat, Serdang, dan Aceh.

Jalur dagang itu secara rinci adalah sebagai berikut. Dari Desa Gadjah (Kampung Surbakti) -Kawar-Pamah Sembilir-Telagah-ke Langkat/Binjai. Dari Lau Sigedang- mengikuti aliran Sungai Bingai- terus ke Subekan-Tanduk Benua-ke Binjai. Dari Sibolangit-ke Tanduk Benua. Dari Sembahe-ke Tanduk Benua. Dari Talun Kenas- Deli Tua-Rumah Bacang- Pancur Batu- Sungai Belawan- Tanjung Selamat - ke Sunggal. Dari Tamiang (Aceh)- Berandan-Tajung Pura-Binjai-Namu Ukur- Tanjung Gunung-Sawit-Subeikan- Tanduk Benua. Jalur-jalur inilah yang dipakai para pejuang Sunggal dalam membantu perjuangan; melawan Belanda. Melalui jalur inilah mengalir bantuan berupa lasykar/pasukan dan logistik perang lainnya.

Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa salah satu pasukan dari Tanah Karo adalah Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja), dan ada lagi bernama Pa Blegah dan Pa Tolong. Nabung Surbakti mempunyai seorang asisten bernama Pangaring (Rasyid) Sebayang. Dengan demikian, salah satu yang berperan sebagai kurir dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan koordinasi perlawanan adalah Pangaring Sebayang. Di samping itu, ada juga kurir-kurir yang berperan sebagai pedagang garam. Kurir-kurir itulah orang-orangnya Datuk Badiuzzaman yang sekaligus sebagai penyampai pesan (musuh beringin), logistik, dan juga pasukan. Peranan kurir dalam perang Sunggal demikian penting, karena bagi orang Karo pesan yang disampaikan melalui seorang kurir itu lebih berharga daripada melalui surat saja. Dengan cara itu Datuk Badiuzzaman melakukan kontak dengan semua pasukan pejuang Sunggal yang berada di Aceh, Tanah Karo, Langkat, dan Serdang sehingga ia mendapat bantuan logistik dan pasukan. Persiapan untuk melakukan perlawanan sudah matang. Setiap hari sebagaimana dikatakan orang Cina yang bernama Anton (pedagang Candu) yang ditangkap oleh Datuk Sunggal dan kemudian dilepaskan, rakyat sudah dipersenjatai secara besar-besaran di Sunggal, di bawah pimpinan Panglima Dalam Sunggal. Ia juga menjelaskan bahwa Datuk Badiuzzaman terus berhubungan dengan Datuk Jalil dan Datuk Kecil melalui surat atau kurir. Sebagaimana disebutkan kontrolir Deems dalam laporannya tangal 12 Juni 1872, selain putra-putra Datuk Jalil, Sulong Barat, Sulong Putra, Bintang Siak, juga turut Wan Musa dari Sinembah dan Tengku Sulong Hebar, putra Kejeruan Selesai. Di samping itu, Kejuruan Bahorok, Kejeruan Stabat Tan Mahidin, dan orang-orang Batak dari hulu Langkat mendukung para pejuang Sunggal setelah mereka mengadakan rapat di Tanjung Jati. Setelah rapat itu, para pejuang Sunggal mulai membakari bangsal-bangsal tembakau dan rumah-rumah tuan kebon Belanda. Akibatnya, produksi tembakau berhenti. Para Tuan Kebon itu berlarian membawa anak dan istrinya mengungsi ke Labuhan Deli. Sunggal benar-benar dalam keadaan kacau balau. Residen Riau Schifft melaporkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia bahwa ia telah menerima surat dari seorang Tuan Kebon di Deli bernama Hagge Lies, yang menyatakan para pejuang Sunggal sudah memasuki Langkat dan Deli dan sebanyak 40 keluarga Tuan Kebon dari Deli dan Langkat telah diungsikan ke pelabuhan.

Sementara pada April 1872 Tuan Munnick melaporkan bahwa kuli Tuan H.H. Schlatte dan Peijer yang sedang membangun jalan menuju Langkat harus menghentikan pekerjaan mereka karena diancam oleh 40 orang Batak Karo atas perintah dari Datuk Sunggal. Dalam sebuah pertemuan antara Sultan Deli, Komandan Kapal Bangka, dan Kontrolir Deems diketahui bahwa sejak Agustus 1871 di wilayah Sunggal sebenarnya sudah terjadi oposisi terhadap kekuasaan Sultan Deli dan perusahaan perkebunan. Oposisi itu sebenarnya dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman yang mendapat pengaruh dan dukungan kuat dari Datuk Kecil dan saudaranya Datuk Djalil, yang walaupun sudah berusia lanjut masih berusaha memerdekakan Sunggal dari Deli dan Langkat. Sebenarnya usaha Sultan Deli untuk membujuk Datuk Sunggal, Datuk Jalil, dan Datuk Kecil sudah dilakukan, tetapi selama ini mengalami kegagalan. Para Datuk dari Sunggal tetap tidak mau menghadiri undangan Sultan Deli untuk berunding. Datuk Kecil menolak datang ke Deli dengan alasan bahwa Sunggal adalah tanah airnya dan bahwa ia tidak ada urusan apa-apa dengan Sultan Deli dan memprotes tindakan kontrolir Deems yang melarang masuknya mesiu dan timah. Menanggapi situasi yang membahayakan bagi kepentingan perkembangan perkebunan tembakau dan mengancam keamanan dan ketertiban (rust en orde) di Deli maka Kontrolir Deli, Deems, memanggil Datuk Badiuzzaman sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban di Sunggal ke Labuhan Deli. Datuk Badiuzzaman memenuhi panggilan itu dan ia ditanyai seputar berita-berita yang sedang terjadi di Sunggal. Datuk Badiuzzaman menjelaskan bahwa Sultan telah bertindak kasar dan telah menahannya, tetapi tentang mempersenjatai para pengikutnya ia tidak memberikan komentar sedikit pun. Pemerintah Belanda akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan operasi menghancurkan kekuatan pejuang Sunggal. Dengan agak tergesa-gesa, sebuah ekspedisi militer gabungan dari kesatuan Angkatan Darat (Infantri, Artileri dari Garnizun Tanjung Pinan) dan Korp Marinir Angkatan Laut dari Kapal perang Bangka, dan Den Briel di bawah pimpinan Kapten W. Koops tiba di Labuhan Deli dan langsung menuju Sunggal pada 15 Mei 1872. Pasukan Belanda dibantu oleh 200 orang prajurit Sultan Deli di bawah pimpinan Raja Muda Sulaiman dan beberapa ratus prajurit Pangeran Langkat di bawah pimpinan Tengku Hamzah dan Datuk Laksemana, dibantu oleh beberapa ratus buruh perkebunan tembakau untuk mengangkut logistik dan persenjataan. Pasukan Belanda ini langsung menuju perkebunan Arendsburg (Klumpang) dan Rotterdam. Sementara itu, pasukan pejuang Datuk Sunggal sudah menempati kawasan Timbang Langkat memanjang ke Hamparan Perak-Tanduk Benua-Sapo Uruk-Sunggal. Mereka juga didukung oleh pasukan Aceh yang berkedudukan di sepanjang pesisir Langkat hingga ke Pulau Kampai. Pasukan Karo menempati daerah dari Bukum- Buluhawar-Pariama-Tuntungan-Padang Bulan-Sunggal. Dalam kontak tembak tanggal 17 Mei 1872 para pejuang Sunggal berhasil menewaskan dua orang serdadu Belanda bernama Angelink dan Schoon dan melukai beberapa orang, termasuk Letnan Lange Komandan Marinir Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1872, pasukan Datuk Sulong Barat berhasil menghancurkan pasukan Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk Benua. Tiga hari kemudian pasukan Infantri Belanda di bawah pimpinan Kapten Koops dan Altileri di bawah pimpinan Van de Meurs diserang para pejuang Sunggal. Pasukan Belanda mengundurkan diri menuju kebon Enterprise (Kampung Lalang), di seberang Sungai Sunggal dengan meninggalkan beberapa orang korban.

Mengingat perlawanan demikian hebat dari pejuang Sunggal maka Pemerintah Belanda melalui Assisten Residen Riau, Locker de Bruijne, berusaha memutuskan hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman dengan para komandan pasukan di daerah Timbang Langkat dan hutan pegunungan. Beberapa Kepala Kampung Karo dikumpulkan dan Datuk Badiuzzaman dipaksa untuk menyerahkan para pejuang Sunggal dan memerintahkan agar orang-orang Melayu yang ikut bertempur di hutan-hutan agar kembali ke rumah masing-masing. Oleh karena Datuk Badiuzzaman tidak bersedia bekerja sama maka ia dikenakan tahanan kota di Labuhan Deli. Sultan Deli tanggal 8 Juni 1872 juga mengumpulkan para penghulu kampung Karo dan memerintahkan kepada mereka agar dalam tempo paling lama 9 hari menangkap para pemimpin pejuang Sunggal, yaitu Datuk Kecil dan kawan-kawannya di lapangan. Bahkan Sultan menjanjikan hadiah sebesar $400 bila berhasil menangkap semuanya dan $120 untuk seorang. Tapi usaha ini juga tidak berhasil. Bahkan para pejuang Sunggal malah menyerang Belanda di Kebon Enterprise dan Perkebunan Padang Bulan. Pasukan Belanda kemudian mengungsikan semua keluarga orang kulit putih (Eropa) ke Labuhan. . Pada 10 Juli 1872 Kebon Kampung Lalang diserang lagi, meskipun Letkol van Hombracht sudah mengambil alih pimpinan pasukan Belanda di perkebunan itu. Letkol van Hombracht luka parah. Pada 20 Agustus 1872, pasukan Belanda dipukul mundur di Rimbun. Mayor van Stuwe yang membawahi 350 pasukan infantri dan artileri termasuk 14 orang perwira mendapat serangan dahsyat di sepanjang Lau Margo. Oleh karena upaya membujuk Datuk Badiuzzaman, Penghulu Gadjah, beberapa penghulu kampung Karo lainnya tidak berhasil maka Belanda menggempur markas pejuang Sunggal di Lau Margo. Kuatnya perlawanan rakyat Sunggal terbukti dalam tahun 1872 sudah 3 kali ekspedisi militer Belanda dengan bantuan langsung dari Batavia untuk mematahkan perlawanan rakyat Sunggal. Belanda sebenarnya tidak mampu secara militer menangkap para pimpinan pejuang Sunggal. Datuk Badiuzzaman sebenarnya adalah sosok penguasa Urung/Sunggal yang secara sembunyi-sembunyi terus melakukan kontak rahasia dengan para komandan lapangan (Datuk Kecil dkk). Sebagaimana dikatakan Sultan Deli, “Hampir setiap malam melalui para kurir orang Karo Datuk Sunggal menerima pesan-pesan dari Datuk Kecil dkk”. Semua kerabat Datuk Sunggal secara terang-terangan telah membenci Belanda.

Perjuangan lewat Perang dan Perundingan
Medan perang yang sangat luas dan keterbatasan personel, membuat Belanda berusaha menawarkan perdamaian. Residen Riau Schiff juga melalui kurir sering menawarkan perdamaian dengan Datuk Kecil dan rekan-rekannya dan juga kepada Datuk Badiuzzaman. Dengan menggunakan Sultan Deli, Belanda menawarkan gencatan senjata dan bersedia menarik pasukannya. Mengingat Sultan Deli merupakan anak beru Sunggal maka untuk kedua kalinya Datuk Badiuzzaman mau berunding dengan Sultan Deli. Datuk Sunggal rupanya masih menaruh harapan akan penyelesaian konflik yang tidak serta merta harus diakhiri dengan kekerasan atau perang. Lewat perundingan dapat dicapai penyelesaian yang baik dari sisi rakyat bumiputera Sunggal maupun bagi Belanda dan Sultan Deli.

Perundingan ini harus dilakukan di tempat netral, yakni di sekitar Kampung Lalang dan Belanda harus melucuti pasukannya. Berdasarkan kesepakatan itu maka Datuk Badiuzzaman dengan rombongan diiringi musik serdadu Belanda (tanpa senjata) daan diantar Datuk Sulong Barat, menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Datuk Mohd. Jalil dan Datuk Kecil yang saat itu sedang sakit di Kampung Gadjah. Pada 20 Oktober tibalah rombongan Datuk Kecil dengan diiringi pasukan pengawalnya di Sunggal. Kemudian, dengan dikawal pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Ponstein rombongan Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecil menuju tempat perundingan di perkebunan Arensburg (Klumpang) tempat tinggal sementara Schifft, Residen Riau. Rupanya harapan Datuk Badiuzzaman yang masih menaruh harapan akan niat baik Belanda dalam perundingan antara pihak yang bertikai sebagai pihak yang “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” tidak terjadi. Ketika perundingan sedang berlangsung, 25 Oktober 1872, tiba-tiba Residen Riau memerintahkan kepada para Datuk Sunggal itu untuk minta ampun pada Gubernur Jenderal di Batavia.

Datuk Kecil kemudian menjawab bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa dan tidak perlu minta ampun. Namun, Residen Riau kemudian menyatakan bahwa mereka sekarang telah menjadi tawanan dan memerintahkan kepada Letnan Kolonel van Stuwe untuk melucuti semua pasukan pejuang Sunggal. Para pengawalnya orang-orang Batak Karo disuruh kembali ke Sunggal, yang lainnya dibawa ke Labuhan Deli. Datuk Kecil, Datuk Mohd. Jalil, Sulong Barat, dan empat pengawalnya selanjutnya dibawa naik kapal “Den Briel” ke Tanjung Pinang dan kemudian ke Batavia tanggal 4 November 1872. Sementara Datuk Badiuzzaman, Datuk Alang Muhammad Bahar, dan beberapa pejuang lainnya diinterogasi dan kemudian dilepas. Datuk Badiuzzaman tetap melanjutkan perlawanan dengan jalan memerintahkan berbagai aksi sabotase di Perkebunan Tembakau 1874-1895. Berdasarkan laporan resmi Departemen Pertahanan Hindia Belanda pada 4 Nopember 1872, korban tewas dari militer Belanda sebanyak 31 orang dan luka-luka sebanyak 592 orang. Ini tidak termasuk korban dari pasukan Sultan Deli dan Langkat dan para kuli kebon. Setelah Datuk Kecil, Datuk Mod. Jalil, dan Sulong Barat dibuang ke Jawa, kondisi keamanan di Deli pada tahun 1873 realtif aman.

Kontrak-kontrak tanah untuk perusahaan perkebunan mulai ditata kembali dengan lebih memperhatikan kesejahteraan para penduduk pribumi. Sewa tanah dalam kontrak-kontrak yang dilakukan oleh para pengusaha bangsa Eropa, seluruhnya diperuntukkan bagi Datuk empat suku di Deli, sepanjang tanah-tanah itu masih masuk wilayahnya. Pada 14 Juni 1873, peraturan ini diperkuat dengan akte baru. Para penghulu Batak Karo yang terlibat dalam perang telah diberi amnesti, tapi mereka tetap menunggu dilakukannya pesta perdamaian sesuai dengan adat Karo sebagai tanda adanya perdamaian. Meskipun demikian, kondisi keamanan di Deli kembali tidak aman bagi para pengusaha perkebunan Eropa dan para pejabat Belanda. Masih dalam bulan Mei 1873, ada informasi bahwa sejumlah orang Alas dari orang-orang Aceh yang berdiam di Perbatasan Langkat Hulu (Atas) telah menerima surat dari Sultan Aceh yang isinya mengajak untuk berperang melawan Belanda. Surat seperti itu pun beredar di Kampung Sitelu Kuru, tempat asal-usul raja-raja Urung Sunggal Serbanyaman. Berita-berita itu malah sampai ke para pengusaha perkebunan dan sangat mencemaskan dengan adanya 10.000 pasukan dari Deli Atas dan Langkat akan turun ke Deli Bawah menyerang orang-orang Eropa. Ternyata berita ini memang sangat dibesar-besarkan, sehingga Belanda tidak jadi mengirim bantuan pasukan dari Tanjung Pinang. Tetapi kontrolir Kroesen dibuat sibuk dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah Langkat Atas. Memang berita itu bisa saja dibesar-besarkan, tapi ketenteraman di Deli, khususnya keselamatan para tuan kebon Eropa dan perkebunannya belum sepenuhnya aman.
Datuk Badiuzzaman, setelah Datuk Kecil dan rekan-rekannya, ditangkap kemudian mengubah pola perjuangan dari perang frontal menjadi serangan sporadis ke bangsal-bangsal tembakau milik perusahaan perkebunan Eropa dengan tujuan memberikan rasa tidak aman bagi Tuan Kebon Eropa bersama keluarganya dan menghentikan produksi perkebunan dan ekspansi areal perkebunan. Tembakau yang disimpan di bangsal-bangsal dan siap untuk diekspor dibakar sebagai tindakan balasan terhadap aksi penyerobotan tanah-tanah rakyat Sunggal oleh perusahaan perkebunan tembakau dan dilindungi pasukan Belanda yang ditempatkan di setiap emplasmen perkebunan. Setiap bangsal tembakau yang akan diserang/dibakar ditempelkan terlebih dahulu tanda adat “musuh beringin”. Dalam sebuah pertemuan antara Assisten Residen Siak, Locker de Bruijne, Sultan Deli, dan Datuk-Datuk Empat Suku, bulan April 1873, Locker de Bruijne secara tegas memperingatkan Datuk Badiuzzaman apabila masih ada gangguan keamanan dan ketertiban di wilayahnya, maka yang harus bertanggung jawab adalah Datuk Badiuzzaman. Rapat ini dilakukan karena keamanan mulai terganggu lagi, apalagi setelah utusan dagang Sultan Deli hilang tidak diketahui rimbanya. Kejadian itu membuktikan bahwa perlawanan rakyat Sunggal tidak berhenti, bahkan semangat perlawanan itu terus membara dan ditebarkan oleh Datuk Badiuzzazman.


Tetap Menolak Tunduk
Di bawah pimpinan Datuk Badiuzzaman dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar, rapat-rapat rahasia sering dilakukan dengan pemuka masyarakat di beberapa tempat, termasuk di Kampung Pagar Batu atau Pancur Batu. Dalam rapat itu mereka tetap tidak mau mengakui kekuasaan Sultan Deli atas Sunggal dan membahas cara melakukan serangan terhadap perkebunan. Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar. Keadaan di Deli semakin gawat dengan munculnya bahaya kelaparan. Keadaan ini terjadi karena adanya aksi pemboikotan rakyat petani yang turut bersimpati dengan perjuangan Datuk Sunggal tidak dan mau menjual berasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda mengimpor beras dari Rangon (Birma).

Hingga tahun 1866, gerakan pengacauan di perkebunan tembakau terus berlangsung. Schadee melaporkan bahwa para pemilik perkebunan beserta keluarganya di beberapa tempat mati terbunuh. Mereka yang selamat menjadi panik dan melarikan diri ke Medan. Gerakan pengacauan ini semakin meluas sehingga hampir semua bangsal perkebunan milik orang Eropa tidak dapat diselamatkan. Setahun kemudian, tepatnya bulan Agustus 1876, Tuan Van Der Sluis dkk pemilik perkebunan Sungai Tawar yang terletak di Babalan Langkat, diserang oleh orang-orang Gayo. Administratur Perkebunan terluka dan rumahnya dibakar. Sebulan kemudian, September 1876, Perkebunan Tandem dekat Sungai Bingei milik Tuan Peyer en Van Gulich juga diserang orang-orang Gayo. Dalam serangan itu seorang Eropa meninggal dan beberapa orang kuli terluka. Pada Bulan Oktober 1876, sebuah perkebunan Sungai Diski giliran mendapat serangan dari orang-orang Gayo dan Melayu dari Kampung Sialang Moeda. Istri pemilik perkebunan J. Lohmann dan dua putranya mati dibunuh dan beberapa orang yang tinggal serumah mengalami luka-luka. Pemerintah Belanda segera mengambil tindakan untuk melindungi perkebunan.

Polisi segera berhasil menangkap para pelaku penyerangan, yakni empat orang Batak Karo dan dua orang Melayu ditembak mati, enam orang lainnya dihukum kerja paksa. Pemimpin utamanya bernama Razal dipenjara. Setelah dilakukan aksi pembersihan oleh Belanda, ternyata diketahui bahwa serangan-serangan itu diperintahkan oleh Panglima Selan, seorang Batak Karo yang memiliki pengaruh di kalangan orang-orang Gayo yang bermarkas di Si Umpih-Umpih (kira-kira 10 jam perjalanan dari Timbang Langkat). Ia memang sudah sering membuat keonaran dan setelah itu ia menghimpun sejumlah orang sekampungnya untuk menyerang perkebunan Ajer Tawar. Pada bulan November 1887 markasnya digempur pasukan militer Belanda, tetapi Selan dan pengikutnya sudah meninggalkan tempat itu. Namun demikian, semua barang yang menurut Belanda merupakan hasil rampasan dalam tiap aksi penyerangannya berhasil ditemukan Militer Belanda di Sungai Diski. Berbagai penyerangan yang dilakukan Panglima Sekalian sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Datuk Badiuzzaman menentang kolonialisme Belanda, sebagai startegi meneruskan perjuangan setelah paman-pamannya Datuk Kecil, Datuk Jalil, dan Sulong Barat dibuang Belanda ke Jawa.

Panglima Selian sebenarnya adalah anak buah Datuk Alang Bahar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua aksi pembakaran perkebunan di Tandem, Sungai Mencirim, Diski, Gedong Johor, dan penghadangan pasukan militer Belanda adalah atas perintah Datuk Badiuzzaman dan adiknya, Datuk Alang Bahar.

Mengingat semakin seringnya aksi-aksi pembakaran terhadap perkebunan maka Belanda mulai merencanakan strategi Kristenisasi melalui lambaga Alkitab Belanda (Zending) untuk memecah belah persatuan antara orang Melayu dan Karo Sunggal. Mereka mendukung kegiatan zending untuk membendung pengaruh Melayu/Islam di kalangan orang Batak Karo yang non-Islam. Wujud tindakan memecah kesatuan antara orang Melayu dan Karo juga tampak dalam berbagai laporan pemerintah kolonial Belanda yang selalu menyebut aksi-aksi pembakaran perkebunan dilakukan oleh orang Batak, tidak disebutkan oleh orang Karo.

Politik pecah belah itu tidak berhasil dan bahkan persatuan antara orang Karo/Melayu Sunggal dengan Batak Karo di Pegunungan makin kuat untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan Belanda. Bagaimanapun, aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau membuat produksi perkebunan menurun dan pada gilirannya mempengaruhi perekonomian Hindia-Belanda. Belanda akhirnya berusaha keras untuk mengatasi aksi-aksi sabotase tersebut, termasuk dengan mempergunakan mata-mata yang disusupkan ke Sunggal. Upaya ini berhasil. Berdasarkan seorang mata-mata wanita bernama Lelau, didapat sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa sebenarnya otak dari segala aksi-aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau itu adalah Datuk Badiuzzaman. Oleh karena itu, dalam sebuah pertemuan pada 1894, yang digagas untuk mencari jalan keluar atas kemelut yang terjadi di Deli, Assisten Residen Siak mengusulkan agar Datuk Badiuzzaman segera disuruh ke Batavia menemui Gubernur Jenderal dalam rangka mengatasi masalah di Deli. Usul ini diterima Datuk Badiuzzaman dengan hati bersih. Dengan didampingi Datuk Alang Muhammad Bahar (adiknya), Datuk Mahmud (sekretarisnya) dan Daim (ajudannya) berangkatlah menuju Batavia meninggalkan seluruh anak dan istrinya di Sunggal. Sesampainya di Batavia, ternyata, Datuk Badiuzzaman belum juga dipertemukan dengan Gubernur Jenderal dan ia tidak diperbolehkan pulang ke Sunggal. Hingga suatu ketika, seorang pengacara yang menemuinya menyatakan sebenarnya mereka telah menjadi orang buangan. Sadarlah Datuk Badiuzzaman bahwa mereka telah ditipu oleh Belanda. Mereka bisa ditolong asal mau mohon ampun atas kesalahannya pada saat hari ulang tahun Raja Belanda, lewat Gubernur Jenderal di Batavia. Akan tetapi, Datuk Badiuzzaman tetap pada pendiriannya bahwa sampai mati pun ia tidak akan mau berjongkok atau merunduk di hadapan penjajah, apalagi minta ampun pada Belanda karena itu adalah sebuah pantangan dari nenek moyangnya. Akhirnya, Datuk Badiuzzaman dan sang adik, Datuk Alang Mohd. Bahar dipenjara di Bengkalis, Riau.

Kemudian melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 3 Tanggal 20 Januari 1895 mereka dihukum buang seumur hidup. Datuk Badiuzzaman dibuang ke Cianjur dan Datuk Alang Mohd. Bahar dibuang ke Banyumas. Mendengar kabar itu, rakyat Sunggal berkabung selama 3 bulan sebagai tanda hormat dan setia pada pemimpin mereka. Ketika sholat Jumat, selama tiga bulan berturut-turut mereka mendoakan para pejuang rakyat Sunggal. Sama seperti yang dialami pamannya, Datuk Kecil dan Datuk Mohammad Jalil, Datuk Badiuzzaman juga tidak pernah lagi melihat anak-istri dan keluarganya sampai meninggal di pembuangan. Datuk Badiuzzaman dikuburkan di Cianjur dan makamnya dikenali masyarakat setempat dengan nama “Makam Istana Deli”. Datuk Alang Mohd. Bahar dikebumikan di Desa Lampui, Kecamatan Jombang, Banyumas, Jawa Tengah. Dengan demikian, hampir 2/3 hidupnya diabdikan untuk menentang penjajahan Belanda di Deli/Sumatera Timur. Ia tetap menggelorakan semangat anti Belanda dan anti Deli di kalangan rakyatnya dan konsisten tanpa mau menyerah pada tekanan Belanda.

Sunggal Sepeninggal Datuk Badiuzzaman
Pembuangan Datuk Badiuzzaman ke Pulau Jawa menyebabkan takhta Sunggal kosong. Oleh karena Putra Datuk Badiuzzaman, Datuk Muhammad Munai, masih kecil maka berdasarkan musyawarah keluarga ditunjuklah Datuk Muhammad Alif, pamannya, sebagai pemangku kerajaan Sunggal selama enam tahun dari 1895-1901. Datuk Muhammad Munai diangkat menjadi Raja Sunggal tahun 1901. Ia mempunyai 6 orang anak, yakni Datuk Muhammad Jalib, Datuk Muhammad Hasan, Datuk Muhammad Hitam, Datuk Muhammad Bagus, Datuk Muhammad Nur, dan Datuk Hermasnyah. Datuk Mohd. Hasan mempunyai 5 orang anak, yaitu Aja Nazariun, Datuk Saifi Ichsan, Aja Sachila, Aja Herlila, dan Aja Masitah. Datuk Muhammad Hitam mempunyai lima orang anak, yaitu Aja Miliunnah, Datuk Ahmad Neil, Aja Mahnon, Aja Nurulaini, dan Datuk Agustin. Datuk Mod. Bagus mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Zulkarnaen, Datuk Harmaen, Aja Arfah, Datuk Muaz, Datuk Hundri, Aja Chalizah, Aja Chairiah, Datuk Musa, dan Aja Elfira. Datuk Mohd. Nur mempunyai tujuh orang anak, yaitu Datuk Alisyah, Datuk Arifin, Aja Nurlian, Datuk Helmi, Datuk Aswadi, Datuk Alman, dan Aja Mahyun. Datuk Hermasyah mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Mariamah, Aja Syafinat, Datuk Nazeli, dan Datuk Amansyah. Beliau memerintah selama 7 tahun sampai 1907. Takhta Sunggal kemudian digantikan oleh Datuk Muhammad Jalib, namun mengingat ia masih kecil maka Sunggal kembali dipangku oleh Datuk Yusuf. Datuk Yusuf memerintah Sunggal sampai tahun 1914.

Datuk Muhammad Jalib naik takhta tahun 1914 dan diberi gelar Datuk Johan Sri Indra dan memegang pemerintahan sampai tahun 1923. Atas kehendaknya sendiri ia kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Datuk Muhammad Hasan, yang bergelar Datuk Sri Indra Pahlawan. Datuk Muhammad Hasan memegang pemerintahan sampai tahun 1945. Sejalan dengan masa revolusi kemerdekaan maka di Sumatera Timur bergeloralah semangat revolusioner yang akhirnya menimbulkan peristiwa Maret 1946, sebuah peristiwa penghancuran terhadap kekuasaan tradisional. Kekerasan bermula dari Sunggal, ketika beberapa unit laskar rakyat (Barisan Harimau Liar) menyerang markas Persatuan Anak Deli Islam (PADI)/Pasukan V di dekat rumah Datuk Hitam. Datuk Hitam dan sejumlah tokoh bangsawan melarikan diri ke Medan. Empat puluh keluarga bangsawan Sunggal ditangkap dan ditawan oleh Volksfront (Front Rakyat) Cabang Sunggal. Akibat aneka kerusuhan itu Kerajaan Sunggal/Serbanyaman yang telah dibangun oleh Adir Surbakti berakhir.