Rabu, 28 Mei 2008

About me

DATUK H. KHAIRIL ANWAR SURBAKTI, SE, MH

adalah seorang staf pengajar

di perguruan tinggi swasta di Medan (UMSU).

Aktivitas lain adalah Direktur KOMITE INDEPENDEN ANTI KORUPSI (KIAK) Sumatera Utara, Konsultan Bisnis

dan Hukum, Ketua Umum Yayasan Keluarga Besar Datuk Badiuzzaman Surbakti, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pembinaan Kebudayaan Sumatera Utara (LEGENDA SUTRA), Ketua Badan Independen Anti Korupsi Indonesia (BIAK), Sekretaris Umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABMI) Kota Medan, anggota Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)



Sejarah Keluarga

Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti
Pejuang Penentang Penjajahan Belanda
1872 – 1895

I. Datuk Baduzzaman Seorang Tokoh Sejarah

Data Pribadi
Tempat/ Tgl Lahir : Sunggal (Kecamatan Medan Sunggal Propinsi) tahun 1845
Nama Ayah : Datuk Abdullah Ahmad Surbakti Sri Indera Pahlawan
Nama Ibu : Tengku Kemala Inasun Bahorok
Istri : Aja Uncu Besar

Nama Anak-Anak :
1. Datuk Mohd. Munai Surbakti
2. Datuk Mohd. Inggot Surbakti
3. Datuk Ralit Surbakti
4. Datuk Kinu Surbakti
5. Aja Itam Buruk Br. Surbakti
6. Aja Itam Merah Br. Surbakti
7. Aja Loyah Br. Surbakti

Nama Saudara :
1. Datuk Mohd.Mahir Surbakti,
2. Datuk Mohd. Lazim Surbakti,
3. Datuk Mohd Darus Surbakti,
4. Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti,
5. Datuk Mohd. Alif,
6. Aja Amah/Olong Br. Surbakti, dan
7. Aja Ngah Haji Surbakti

Pendidikan
1. Belajar Bahasa Melayu di Sunggal dengan guru kerajaan di bawah bimbingan pamannya Datuk Mohd. Abdul Jalil Surbakti dan Datuk Mohd. Dini Surbakti.
2. Mendalami ilmu agama Islam di berbagai tempat, seperti di daerah Sunggal, Kota Bangun, dan Aceh. Ia menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid, serta hukum syariat Islam, belajar pada beberapa guru dan ulama, salah satunya bernama Syekh Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman Datuk Abdullah Ahmad Sri Indra Pahlawan Surbakti.
3. Menguasai Bahasa Melayu dengan baik dan Bahasa Karo sebagai bahasa leluhurnya. Datuk Badiuzzazman Sri Indra Pahlawan Surbakti sebagai putra seorang Penguasa Sunggal sangat tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi, Kinangkung, dan Desa Gajah di bawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan Karo yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.
5. Prinsip dasar seorang pemimpin rakyat dan jiwa seorang kesatria/pahlawan oleh ayahnya. Datuk Ahmad Sri Indra Pahlawan Surbakti Raja Urung Sunggal Serbanyaman VIII selalu mengajarinya tentang sifat-sifat seorang pahlawan yang harus dimilikinya, yakni
Bila ia bersungut maka ia bersungut dawai
Bila ia memandang maka ia bermata kucing
Bila ia memegang, maka ia bertangan besi
Bila ia merasa maka ia berhati waja
Bila ia berkarib setia ia tiada bertukar
Bila ia berjuang maka pantang surut ia biar selangkah
Bila ia menjumpai maut, mati ia berkapan cindai
Pesan itu hendak mengatakan bahwa seorang pahlawan harus bersikap pantang menyerah, pantang surut biar selangkah pun, tetap setia sikap dan prinsip hidupnya. Bila ia mati maka namanya akan tetap harum, karena hidupnya ditaburi dengan semangat pengorbanan, rela berkorban, sikap tanpa pamrih pribadi yang diwujudkan dalam perjuangannya.

II. Keteladanan Datuk Badiuzzaman

Sebagai sosok tokoh masyarakat, Datuk Budiuzzaman yang berjiwa besar dan rela berkorban memberi keteladanan:
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, seperti keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan rakyat Sunggal;
2. Selalu membina persatuan dan kesatuan lintas etnik, yakni Karo, Melayu, Aceh, Gayo, dan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda;
3. Menerapkan prinsip musyawarah dan mufakat dalam mencapai suatu tujuan;
4. Konsisten dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan;
5. Menjaga persatuan “bangsa” atau kaumnya;
6. Pantang menyerah dalam perjuangan;
7. Rela mengorbankan hidupnya dalam perjuangan membela kebebasan dan kesejahteraan rakyat dan masyarakatnya hingga mengalami pembuangan dan terpisah dari keluarganya sampai wafatnya.

III. Kerajaan Sunggal Serbanyaman

Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga besar Puak Sunggal diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai anak bernama Sirukati Surbakti. Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti dan Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat orang, salah satunya bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak (Dairi). Keduanya melakukan perjalanan dari daerah Pak Pak/Dairi turun gunung ke daerah Tanah Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah Alas di Lingga Raja, terus ke Torong dan membuat perkampungan di sana. Sirsir kemudian menikah dengan seorang Putri yang dipercayai sebagai penjelmaan dari seekor gajah maka anaknya kemudian dinamai Gadjah Surbakti.

Gadjah Surbakti kemudian membuat kampung di Sitelu Kuru dan dinamakan Kampung Gadjah. Dengan demikian, tidak heran apabila terjadi hubungan yang erat antara masyarakat di Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu Lingga, dan marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni Ator Surbakti, Nangmelias Br Surbakti, dan Adir Surbakti.

Adir Surbakti kemudian mendirikan kampung di Sembuaikan di kaki Gunung Sibayak dan menamakan Songgal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian memeluk Agama Islam tahun 1632. Adir mempunyai anak sepuluh orang anak, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Di antara anak laki-lakinya bernama Mahbub dan Borang. Adir adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu kekuasaanya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan yang dinamakan Konfederasi Deli. Deli menjadi Anak Beru Sunggal dan Sunggal berperan sebagai Ulon Janji.

Di antara anak laki-laki Adir adalah Mahbub Surbakti yang menggantikannya sebagai raja. Pusat kekuasaan Kerajaan Sunggal dipindahkan ke Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yakni Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun 1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya Bubud Surbakti. Bubud Surbakti memerintah Sunggal dari tahun 1667 sampai 1792. Ia memindahkan pusat kekuasaannya di Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak yaitu Andan/Undan Surbakti dan Nang/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini menikah dengan Panglima Magedar Alam dari Deli. Pada 1723 terjadi perebutan takhta di Kesultanan Deli, setelah Panglima Paderap meninggal dunia. Seorang putranya bernama Umar terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan Utusan Aceh. Dari musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik bangsawan Deli maupun Serdang adalah anak cucu Raja Urung Sunggal Marga Surbakti.

Andan/Undan Surbakti menggantikan ayahnya Bubud Surbakti yang memerintah antara tahun 1792 – 1891, dan memindahkan pemerintahannya ke Tanjung Selamat. Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, yaitu Datuk Amar laut, Datuk Jalaluddin, Datuk Keteng, Datuk Kojat, Datuk Bajing, Datuk Nahu, dan dua orang perempuan, yaitu Aja Manyak dan Aja Gadih.

Datuk Amar Laut Surbakti adalah penerus takhta Sunggal yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi. Ia memerintah dari tahun 1821-1845, mempunyai empat orang anak, 3 laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti, dan Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulung Barat, Datuk Riaw, Datuk Lintang Siak, Datuk Lingga, Datuk Segel, Datuk Long Putra, Aja Dembam, Aja Noor, Aja Intan Lara. Datuk Abdullah Ahmad mempunyai delapan orang anak. Datuk Mohammad Dini gelar Datuk Kecil mempunyai anak Olong Hasym, Datuk Ali Syafar, Datuk Ali Usman (Datuk Torong), Aja Iting. Pada masa pemerintahannya, Sunggal melepaskan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh. Sunggal mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap berlambang gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini Panglima Magedar Alam berusaha menaklukkan Sunggal tetapi gagal.

Datuk Abdullah Ahmad Surbakti naik takhta pada 1845 – 1857 menggantikan ayahnya dan memindahkan pusat pemerintahan ke Sunggal yang letaknya sekarang adalah di sekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan. Ia diberi gelar Datuk Indera Pahlawan. Beliau mempunyai delapan orang anak, 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim, Datuk Mohd. Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif, Aja Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Pada masa pemerintahan Datuk Mohammad Bahar Sunggal diresmikan dengan nama lain, yaitu Serbanyaman. Ikatan dengan Deli dan Aceh dibangun kembali, termasuk institut Ulon Janji. Datuk Mohd. Lazim mempunyai anak delapan orang, yaitu Aja Itam (Olong), Aja Cermin, Datuk Mohd. Gazali, Aja Tipah, Datuk H. Mustafa, Aja Totop, Aja Ramsiah, Aja Nambok. Datuk Mohamad Mahir mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Sukma, Aja Saerah, Datuk Man, dan Datuk Yusuf. Ketika Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzazman masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzazman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai tahun 1866. Datuk Badiuzzazman Surbakti diangkat menjadi raja Sunggal/Serbanyaman tahun 1866 dengan Gelar Datuk Sri Diraja Indra Pahlawan sampai tahun 1895.

IV. Perjuangan Datuk Badiuzzaman Melawan Belanda

Masyarakat di Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme Belanda adalah masyarakat agro-maritim. Masyarakat tidak hanya hidup dari usaha pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga perdagangan antarpulau, bahkan dengan negara-negara tetangga. Pedagang-pedagang dari pantai utara Jawa, seperti Jepara, Demak, Rembang, atau Tuban berlayar ke arah timur menuju Maluku, Nusa Tenggara, untuk menukar berasnya dengan kayu cendana, damar, pala, merica untuk dijual ke Tumasik (Singapura) atau ke pasar internasional di Malakka. Kesultanan Aceh sudah membina hubungan diplomatik yang rapat dengan Kerajaan Turki Ottoman, Inggris, maupun Cina. Sementara itu, pedagang-pedagang dari Sumatera Barat juga sangat akrab dengan Malakka yang waktu itu menjadi pusat perdagangan. Struktur masyarakat adalah struktur feodal atau kerajaan dengan raja, panembahan, atau datuk beserta keluarga berperan sebagai elite yang memimpin masyarakatnya. Ketika kekuatan kolonialisme Belanda datang, golongan atau kelas pedagang belum sempat mengalami transformasi menjadi kelas menengah yang membawa perubahan masyarakat yang lebih egaliter dan modern dengan budaya industri. Masyarakat pesisir yang hidup dari perdagangan sedikit demi sedikit tersisih, karena kedaulatan daerah pesisir diserahkan kepada kekuasaan Kompeni Belanda. Penyerahan itu dilakukan sebagai kompensasi atas bantuan militer dalam perang suksesi raja-raja maupun sebagai ganti rugi atas kekalahan perang terhadap kekuasaan kolonial. Sementara itu, masyarakat pedalaman yang umumnya agraris dengan pola ekonomi swasembada dan elite kerajaan yang memerintah harus menghadapi perubahan-perubahan radikal, karena penguasaan kolonialisme Belanda atas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia demi keuntungan negara induknya, dengan liberalisasi dan swastanisasi hampir di semua aspek kehidupan. Struktur pemerintah tradisional dengan raja atau bupati tetap dipertahankan tetapi hanya sekadar perpanjangan tangan kebijakan kolonial. Di daerah yang tradisinya kuat, seperti di Jawa maka sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dijalankan oleh Belanda. Sementara untuk lingkungan masyarakat yang lebih egaliter, seperti di daerah Sumatera Timur dan Utara, Belanda menerapkan pemerintahan langsung (direct rule).

Menghadapi kekuatan modal dan kekuasaan politik asing yang luar biasa, reaksi masyarakat itu bermacam-macam, ada yang takluk menyesuaikan diri, bergabung dengan penguasa baru yang datang, atau menolak dengan cara melawan kekuatan kolonial itu. Sikap, usaha, dan perjuangan mereka yang menolak kekuatan asing untuk mengatur dan mengeksploitasi penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungannya itu merupakan embrio bagi semangat nasionalisme yang menjadi dasar bagi pembentukan suatu bangsa. Perjuangan dan jerih payah serta pengorbanan mereka yang luar biasa memiliki nilai simbolis sebagai bagian dari tahapan kelahiran bangsa Indonesia. Dalam cita-cita, jerih payah, dan pengorbanan harta serta jiwa raga merekalah, bangsa ini dilahirkan dan dibesarkan hingga saat sekarang.

A. Politik Kolonial Belanda di Sumatera Abad XIX

Liberalisme sebagai ideologi yang melanda Eropa Barat ternyata juga sangat memengaruhi politik kolonial terhadap tanah jajahan. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang ditetapkan dalam Regering Reglement (Peraturan Pemerintah) tahun 1836 oleh Gubernur Jenderal van den Bosch telah membuat Negeri Belanda yang semula defisit bisa menikmati surplus yang besar (batig slot). Pada waktu itu belum ada pemisahan antara kas Belanda dan kas Hindia Belanda, sehingga uang dari Hindia Belanda terus masuk kas di negeri Belanda. Antara 1836 - 1887 mencapai jumlah besar, yaitu f. 823 juta. Perlu diketahui pada tahun 1920-an, buruh atau kuli dapat hidup (makan dan minum) dengan uang “sebenggol” (0,5 sen) sehari. Untuk mempertahankan keuntungan yang besar dari tanah jajahan, pemerintah kolonial mengundang sektor swasta untuk menanamkan modalnya. Lewat usaha para penanam modal itu, ekspor dari sektor swasta yang besarannya hanya sepertiga dari keseluruhan ekspor pada 1856 dapat ditingkatkan menjadi separo pada 1865. Tanah dapat disewakan dalam jangka panjang mulai dari 20 tahun hingga 75 tahun atau lebih. Sayangnya pada masa itu harga-harga komoditas mengalami fluktuasi yang sukar diprediksi. Fluktuasi atau naik turunnya harga itu dipicu oleh kemajuan komunikasi dengan dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan penggunaan kapal uap yang kemampuan jelajahnya lebih cepat dari kapal layar biasa. Harga gula dan kopi jatuh. Ekspor kopi mengalami kemerosotan, sementara pabrik gula menjadi sulit karena penyakit sereh yang melanda tanahaman tebu tahun 1882.

Harga gula juga turun drastis karena persaingan ketat dengan gula biet dan gula dari Amerika. Meskipun sempat mengalami booming ekspor, tanaman kopi juga diserang habis oleh hama tanaman sehingga perlu mendatangkan jenis kopi lain, yaitu coffea Arabica dengan coffea Liberea dan kemudian dengan coffea Robusta. Tanaman lain yang mulai dicoba adalah tanaman karet yang tidak menarik bagi rakyat jajahan karena di samping memerlukan modal besar juga bersifat jangka panjang. Seperti diketahui, karet bisa dipanen atau disandap setelah berusia 8 tahun ke atas. Untuk mengatasi keadaan itu, pemerintah mengadakan proses diversifikasi ekspor, tidak mengherankan bila pada 1885 ada 115 jenis barang ekspor, dan pada 1905 terdapat 229 jenis. Di antara jenis baru yang menonjol, seperti Kina sejak 1880, Karet sejak 1890; Kopra sejak 1885.

Arus liberalisasi itu mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mencari peluang industri pertambangan, seperti batubara, timah (1865), minyak tanah (1890), dan batu pualam sebagai alternatif dari sektor pertanian atau agribisnis yang sudah mendapat saingan berat di pasaran dunia. Pemerintah kolonial melihat keuntungan yang bisa ditangguk bukan hanya di produksi komoditas ekspor (planter), tetapi juga dari monopoli sektor perkapalan dan perdagangan yang semula hanya dipandang sebagai usaha sampingan. Dalam perkembangan kenaikan barang ekspor terlihat bahwa semakin besar hasil-hasil yang dieksploitasi dari daerah luar Jawa. Tanaman pangan (food crops) makin tersisih dengan pertumbuhan tanaman untuk ekspor yang dijual (cash crops). Pemerintah Kolonial memang lebih berpaling ke daerah luar Jawa, karena mobilisasi tenaga di daerah pedesaan Jawa akan menghadapi banyak kesulitan yang muncul akibat ikatan desa dan ikatan feodal masih mengekang tenaga rakyat, Heeren-diensten (kewajiban untuk raja), pancen diensten (kewajiban untuk menyerahkan sebagian hasil bumi kepada pejabat pemerintah), dan desa diensten (kewajiban gotong royong desa) sudah sangat melembaga. Ikatan-ikatan itu hanya dapat dikurangi atau dihapuskan dalam waktu lama. Di Jawa Tengah, misalnya, wajib kerja dikaitkan dengan hak menguasai tanah, di Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat, wajib kerja lebih dihubungkan dengan keluarga (cacah).
Penanaman modal dalam industri yang gencar dijalankan itu dibarengi dengan kapitalisasi finansial dengan munculnya perusahaan-perusahaan swasta. Usaha perusahaan itu diperlancar lewat kemudahan pembebasan tanah dengan UU Agraria tahun 1870 dan murahnya upah buruh lewat Koeli Ordonantie tahun 1880 (tepat 10 tahun setelah perdagangan budak resmi dihapus atau dilarang) yang mengatur hubungan antara buruh atau kuli dengan majikan, khususnya untuk daerah perkebunan di Sumatera Timur dan daerah luar Jawa pada umumnya. Pada tahun-tahun itu juga dibuka banyak bank yang dapat memberi kredit bagi perusahaan-perusahaan swasta. Gubernemen juga mengeluarkan modal untuk membangun infrastruktur seperti kereta api, irigasi, dan pelabuhan. Pada tahun 1878 UU Gula menghapus tanam paksa gula sehingga gula menjadi komoditas yang secara bebas diperdagangkan. Pola dan sistem pertanian yang pada masa sebelumnya lebih bersifat swadaya (self suffieciency) diubah total menjadi pertanian yang melulu mengabdi pada komoditas ekspor. Tanah jajahan hanya menjadi sumber tenaga buruh yang murah dan wahana eksploitasi sumberdaya alam untuk memperoleh keuntungan dalam pasaran dunia. Perdagangan hanya menguntungkan negara industri yang menjajah dan cikal bakal “industri” pribumi di pedesaan terdesak bahkan mati. Dalam tahap ini pemiskinan negara jajahan dimulai. Tanaman pangan yang menjadi andalan swasembada desa atau daerah terdesak dan bahkan tidak mendapat tempat, karena merajalelanya tanaman ekspor yang digalakkan dan bila perlu dipaksakan oleh pemerintah. Pemerintah kolonial mendapat peluang untuk mendukung eksploitasi tanah jajahan dengan proses swastanisasi itu dalam banyak sektor kehidupan, diiringi dengan pemantapan administrasi birokrasinya. Dalam kaitan itu, pada 1855 didirikan departemen keuangan, pertambangan dan perkebunan, departemen hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen kultur gubernemen, dan pekerjaan umum. Disusul juga dengan pendirian beberapa departemen lain pada 1866 dan 1870, seperti departemen administrasi, pendidikan, agama, industri, departemen kehakiman.

Perluasan Wilayah Kolonial Belanda

Perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda yang disebut Traktat London tahun 1824 menyepakati bahwa Belanda dapat mengambil alih kembali tanah jajahannya di Hindia Belanda dengan tetap menghormati kedaulatan politik Aceh, Bali, dan kerajaan-kerajaan lain, seperti Siak, Deli, Sunggal, dan Serdang. Dengan kerjaan Aceh pun Belanda mengikat perjanjian damai pada tahun 1857. Langkah Belanda itu juga dibarengi dengan diplomasi ke kerajaan Siak, sehingga tahun 1858 dicapai Traktat Siak. Dalam perjanjian itu Sultan Siak meletakkan kerajaannya di bawah pemerintahan Hidnia Belanda. Sebagai imbalannya Belanda mengakui (pasal 2 ayat 2) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanan Deli, Serdang dan Asahan. Traktak Siak dipakai Belanda untuk menarik sultan-sultan Deli, Serdang, dan Asahan secafra terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Dengan pengakuan atas Sultan Siak itu secara tidak langsung mereka mengakui kekuasaan Belanda. Tindakan Belanda itu oleh Sultan Aceh Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap melanggar kedaulatan kerajaan Aceh, karena Aceh mempunyai hak-hak (meskipun tidak di seluruh Siak) di perbataasan bagian Utara, yaitu Deli, Serdang,d an Asahan yang merupakan daerah pengaruh kesultanan Aceh. Gubernur Jenderal di Batavia juga mengirim surat perintah kepada Residen Riau, Schiff yang isinya untuk perintah untuk mengusahakan agar kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatera Timur yang oleh Sultan Aceh masih dianggap sebagai wilayahnya secara tidak langsung. Untuk melaksanakan perintah itu , Residen datang ke Deli, Serdang, dan Asahan guna membujuk kepala-kepala derah tersebut. Hanya Sultan Deli yang langsung menerima mau tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, sejak pertengahan tahun 1862 Belanda menempatkan pasukannya di Deli, Langkat,d an Batu Bara.

Abad 19 dalam sejarah Indonesia merupakan abad terjadinya penetrasi birokrasi dan kekuasaan kolonial Belanda yang dibarengi dengan semangat kapitalisme di beberapa wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dibubarkan 31 Desember 1799, peran VOC diambil alih Pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan Belanda menempatkan Gubernur Jenderal di Batavia sebagai perpanjangan tangannya. Melalui Gubernur Jenderallah intensifikasi perdagangan dan eksploitasidigiatkan demi mengisi kas kerajaan Belanda yang defisit , termasuk pengiriman ekspedisi militer dan sipil ke luar Pulau Jawa. Pada pertengahan abad 19, sejumlah pengusaha Belanda dan Eropa lainnya telah membuka perkebunan tembakau yang besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di tanah Deli. Melalui perkebunan, masyarakat Sumatera Timur (Deli) diperkenalkan dengan nilai-nilai kapitalisme modern dan terjadilah interaksi antara masyarakat yang daerahnya dipergunakan sebagai areal tanaman tembakau dengan berbagai kehidupan perkebunan yang didiami bangsa Eroipa. Interaksi ini sebenarnya berlangsung dalam suasana yang tidak seimbang, yakni antara dua sisitem social yang sama sekali berbeda. Interaksi ini pada gilirannya menimbulkan benturan antara masyarakat Sumatera Timur (Deli) dengan para pendatang/pengusaha perkebunan orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Benturan itu sering terjadi karena pihak perkebunan membutuhkan banyak tanah-tanah konsesi yang secara tradisional adalah milik para datuk/raja Urung mereka.

Keberhasilan perusahaan perkebunan mencari tanah karena adanya dukungan politik dari Sultan Deli dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Belanda dan Sultan Deli memiliki kepentingan tersendiri. Pemerintah Belanda berusaha menciptakan kawasan Sumatera Timur/Deli menjadi daerah penghasil komoditi perdagangan untuk pasar Eropa. Tujuan ini sesuai dengan politik pintu terbuka (opendoor politiek) yang sedang dijalankan pemerintah Belanda mulai 1870. Opendoor Politiek dijalankan dengan maksud mencari investor asing agar mau menanamkan modalnya dalam industri perkebunan di Indonesia. Untuk mencapai ambisi besar itu ada dua kebijakan penting yang diambil pemerintah kolonial yakni pertama, menerapkan Undang-Undang Agraria 1870 –perangkat hukum untuk memperoleh akses tanah konsesi - dan menjaga “rust en orde” (stabilitas keamanan dan ketertiban) di wilayah Hindia Belanda, termasuk Deli. Sultan Deli juga memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan perkebunan di Sumatera Timur. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan sangat menaikkan gengsi dan martabatnya dan sekaligus secara juridis-politis wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda. Sebuah usaha yang sebelum masuknya Belanda sudah dilakukan oleh Kesultanan Deli baik secara damai (kawin politik) maupun secara kekerasan (perang 1822) untuk menguasai wilayah Sunggal.

Sebaliknya adanya skenario besar dari dua kekuasaan itu menimbulkan malapetaka bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan ekses terjadinya kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dengan sistem ekonomi modern/kapitalisme. Konflik terbuka antara rakyat Sunggal dibawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal terjadi 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Ini membuktikan bahwa konflik itu (latar belakang perjuangan Datuk Badiuzzaman) erat sekali kaitannya dengan masalah tanah. Menurut para tuan kebon yang pertama, pada dasarnya para penguasa pribumi itu sebetulnya adalah orang-orang biasa yang tidak jauh berbeda dengan para kawulanya. Semula kekuasaanya mereka terbatas, tetapi kemudian kekuasaannya mereka menjadi besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropah untuk digunakan dalam jangka panjang, mereka menyerobot hak kepemilikan tanah atas tanah yang sebelumnya tidak mereka punyai.
Dengan Traktat Siak, pemerintah kolonial Belanda menemukan jalan pintas untuk menuju daerah Aceh. Lewat bujukan Belanda dapat masuk ke Deli, dan dengan kekerasan (Sunggal, Serdang,d an Asahan) kerajaan-kerajaan itu hendak ditaklukkan. Penaklukan itu untuk mengepun kesultanan Aceh, dari sebelah Barat infiltrasi militer bermarkas di Padang (Gubernur Sumatra Barat) dan dari sebelah timur penyerangan dipusatkan di Riau di bawah pimpinan Residen Riau, Schiff. Guna mengamankan diri dalam kancah diplomasi inetrnasional, Belanda mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Inggris, sehingga disepakati Traktat Sumatera yang dibuat bersama Inggris tahun 1874 pemerintah Belanda mendapat keleluasaan untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera, yaitu Dengan traktat itu pemerintahan kolonial Belanda dibenarkan untuk melakukan—menurut istilah mereka--pasifikasi” (usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik karena ada pihak-pihak yang bertikai dan berseteru maupun “pembudayaan” karena penduduk pribumi dipandang masih “terbelakang”) di seluruh kerajaan-kerajaan di Sumatera. Konflik itu menyangkut masalah tanah. Para pemimpin bumiputera, baik para raja, bupati, pemimpin tradisonal, atau elite lokal sebetulnya menghadapi masalah yang sama seperti rakyatnya. Semula kekuasaanya mereka terbatas atas tanah mereka, tetapi kemudian kekuasaan mereka menjadi besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropa untuk digunakan dalam jangka panjang, berkat uang sewa yang mereka peroleh. Seturut UU Agraria tahun 1870, semua tanah yang bukan milik masyarakat pribumi (kerajaan tradisonal) adalah ranah pemerintah Hindia Belanda (domein van de staat). Jadi, tanah-tanah yang ada bisa disebut “tanah bebas” yang bisa disewa oleh baik warga negara Belanda di Nederland maupun yang berada di Hindia Belanda atau kepada perusahaan yang terdaftar di Hindia Belanda. Areal maksimal yang disewa sebesar 500 bau dengan sewa antara f.1 sampai f.6. Tanah pribumi yang dikuasai berdasarkan hukum adat hanya dapat disewa selama 5 tahun, sedangkan tanah milik mereka untuk 20 tahun. Selanjutnya perjanjian harus terdaftar. Suatu akibat dari peraturan itu adalah adanya kecenderungan menjadikan status tanah yang disewakan diubah menjadi milik yang menyewa, sehingga para pengusaha atau oknum aparat pemerintah, baik pihak bumiputera maupun orang Belanda, dapat menekan biaya sewa tanah atau memperoleh kekayaan lewat pencaplokan tanah-tanah rakyat itu. Keadaan itu dengan aneka permainan dan trik khusus untuk menguasai tanah menjadi sumber konflik sosial yang besar.

Konflik atau pergolakan di daerah, seperti daerah Deli dan Sunggal merupakan akibat langsung dari proliferasi masyarakat di Indonesia. Artinya, interaksi masyarakat Indonesia demikian majemuk dari suku, kepentingan, budaya, maupun agama dalam dirinya sendiri mudah atau rentan terhadap konflik yang sebetulnya internal. Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena berbeda kepentingan dan “pandangan politik” menjadi berseberangan dalam menghadapi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, dalam setiap konflik selalu ada peluang bagi Belanda untuk mempasifikasikan dan menanamkan kekuasaan serta mengatur pemerintahannya. Dapat dikatakan, tanpa politik divide et impera (membagi dan menguasai) pun, masyarakat di Indonesia yang terdiri dari aneka suku, agama, kebudayaan, adat-istiadat, dan kebudayaan rawan akan konflik sosial. Apalagi dengan kehadiran kekuatan asing yang memang memanfaatkan secara optimal konflik-konflik itu agar lebih mudah mengadakan eksploitasi tanah jajahan bagi kepentingan negera induknya. Di Sumatera Utara pada 1850 timbul pergolakan maka Belanda bertindak cepat dengan menyusun pemerintahan secara langsung. Setelah membuka perkebunan di Besuki, Jawa Timur sejak 1861 Nienhuys pada bulan Juli tahun 1863 pergi ke Sumatera untuk memperluas usahanya di daerah itu. Dengan percobaan sederhana dia membuka 75 ha perkebunan tembakau di Deli. Daerah Deli terletak di Sumatera Timur antara Aceh dan Asahan; atau tepatnya daerah antara Serdang, Tanah Karo, dan Langkat. Daerah itu merupakan dataran rendah (aluvium) yang meninggi sampai 700 m di atas permukaan laut sehingga ada sebagain daerah itu yang merupakan dataran tinggi. Sungai-sungai daerah itu bermuara di Selat Malakka. Di daerah itu tidak dikenal musim kering, karena sepanjang tahun tetap bisa turun hujan. Dengan suhu udara sedang sekitar 26,7 derajat Celcius maka daerah ini cocok untuk daerah pertanian. Hasil kerja Nienhuys di tanah Deli mewujudkan satu muatan tembakau pertama sampai di Rotterdam pada bulan Maret 1864, setelah mengalami dan mengatasi berbagai kesulitan dan kegagalan. Usaha itu berhasil berkat dukungan perusahaan, seperti van den Arend dan Mathieu & Co pada 1865 dapat dikirim 189 bal tembakau. Untuk produksi itu Nienhuys telah mengerahkan tenaga kerja Cina dari Singapura sebanyak 120 orang. Ia mengusulkan investasi pembukaan perkebunan kopi, cokelat, dan kelapa. Sayangnya, usulan tersebut waktu itu belum dipandang memiliki prospek yang baik sehingga tidak ada yang mau menerima. De Munnick sebagai pengganti Nienhuys sebagai pimpinan usaha perkebunan pada 1887 mulai membuat kontrak untuk 99 tahun tanah perkebunan sebesar 2.000 bau. Sementara itu, datang juga pengusaha perkebunan baru Moss dan Baker dari Swiss dan von Mach dari Jerman. Kecuali perkebunan tembakau mereka juga tertarik mengusahakan pala dan kelapa. Tanah untuk kedua tanaman itu disewa langsung dari rakyat. Rupanya usaha pengusaha kebun itu berhasil. Dari hasil ekspor dari Kesultanan Deli antara tahun 1863- 1867 diketahui bahwa ekspor tembakau dan lada mengalami peningkatan yang signifikan, sementara untuk lada hitam dan buah pinang yang dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Setelah berhasil mengumpulkan modal kembali, Nienhuys kembali ke Sumatera Utara dan membuka perkebunan yang terletak antara Sungai Deli dan Sungai Percut. Hasil ekspornya pada 1868 memberi keuntungan 100% lebih besar, maka dibentuk N.V. Deli Maatschappij dengan separo modalnya dari Nederlandsch Handels Maatschapij. Kisah sukses Nienhuys itu mengudang banyak pemodal Eropa datang, seperti perkebunan Carlsruhe, Vesuvius, Catsburg, dan Hospitality. Deli Maatschapij memperluas usahanya dengan membuka perkebunan kopi pada 1880 dan karet pada 1901. Daerah operasinya meliputi Deli, Serdang, dan Langkat dengan luas arealnya bertambah dari 7000 ha menjadi 180.000 ha.

Kisah sukses Deli Maatschapij itu tidak lepas dari dukungan Sultan Deli yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan perkebunan di kawasan itu. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan sangat menaikkan pendapatan, kekayaan, dan juga martabatnya sebagai seorang sultan. Secara juridis-politis, wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda dan dengan kesamaan kepentingan ekonomi itu, lebih mudah beraliansi politik dan militer dalam menghadapi kerajaan tetangganya, yaitu Sunggal. Usaha untuk menguasai Kerajaan Sunggal sudah dijalankan oleh para sultan Deli sebelum Belanda masuk ke wilayah itu, baik usaha secara damai lewat politik perkawinan keluarga kedua kerajaan itu, maupun secara kekerasan lewat perang pada 1822 agar dapat menguasai wilayah Sunggal. Sebaliknya, kekuasaan Belanda dan Deli yang berkolaborasi menimbulkan masalah bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal dengan sengaja tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan akibat dari kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dan sistem ekonomi kapitalistik yang datang dengan modal besar dan didukung oleh kekuatan hukum dan politik yang kuat. Konflik terbuka antara rakyat Sunggal di bawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal, dimulai pada tanggal 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Pada awalnya prosesnya begitu gampang. Residen Riau yang ketika itu membawahi Sumatera Timur secara terbuka menawarkan Deli sebagai daerah untuk perkebunan swasta. Sejalan dengan itu, maka pada 1866 Sultan Mahmud dari Deli menyerahkan tanah yang sangat luas memanjang dari Mabar sampai ke hulu Deli Tua, antara Sungai Deli dan Percut (sekitar 12.000 bau) untuk masa sewa selama 99 tahun tanpa pajak kepada Nienhuys dan dua orang Swiss dan seorang Jerman untuk ditanami tembakau.

Pada masa awalnya proses budidaya tembakau masih tetap menggunakan cara tradisional, yakni memberikan “uang muka” (voorscot) pada orang Batak Karo untuk mau menanami lebih banyak tembakau di lahan konsesi untuk mereka. Akan tetapi, upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan. Nienhuys akhirnya memutuskan untuk membuka perkebunan sendiri dengan menggunakan tenaga kuli, namun orang Melayu dan Batak tidak bersedia menjadi tenaga kuli. Kesulitan akan tenaga kerja kemudian dapat diatasi dengan merekrut tenaga kuli Cina dari luar. Awalnya para kuli ini menerima uang muka dari sejumlah uang yang akan diberikan oleh Nienhuys pada waktu musim tanam berakhir, yang besarnya sangat tergantung pada jumlah dan mutu tembakau yang dipanen. Pada waktu itu, sistem kerja upahan belum berlaku. Yang ada adalah sistem kerja borongan. Para mandor dari kelompok kuli Cina bertindak sebagai pemborong. Kepadanya diberikan sebidang tanah dan bibit yang pada akhir musim tanam harus dijual kepada pemberi borongan.

Sejak 1870 mulailah dibuat kontrak langsung dengan masing-masing kuli dan para mandor diangkat sebagai pengawas. Adanya campur tangan langsung pengusaha dalam pengorganisasian produksi menandai terjadinya peralihan ke kapitalisme industri yang sesungguhnya di Sumatera Timur. Tidak lama kemudian terbukti bahwa tembakau Deli merupakan produk yang paling menguntungkan di pasar Eropa. Untuk usaha budidaya tembakau dalam skala besar dibutuhkan modal yang banyak. Atas keberhasilan Nienhuys maka para pemodal Eropa berlomba menanam investasi di industri perkebunan tembakau di Deli. Jumlah perkebunan meningkat dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874 dan hingga 1876 sudah ada 40 perkebunan yang beroperasi di Deli, Sumatera Timur. Sejalan dengan itu, berbagai bangsa berada di kawasan ini, seperti Belanda, Swiss, Jerman, Polandia, Inggris, Denmark, Cina, Keling, dan Jawa. Orang Cina bahkan telah mencapai 7.600 orang atau rata-rata kurang dari 200 orang di tiap perkebunan. Keberhasilan para pemodal Eropa di industri perkebunan tembakau ternyata membawa konflik bagi masyarakat Sunggal. Hubungan Sunggal dengan Deli memang sudah tidak harmonis sejak Deli menyerang Sunggal pada 1822. Kini, dengan kehadiran usaha perkebunan itu, hubungan kedua kerajaan itu semakin buruk. Permasalahannya adalah karena, sebagian besar tanah yang diserahkan Sultan Deli kepada para perusahaan perkebunan adalah wilayah kekuasaan Sunggal dan bahkan jauh masuk ke wilayah Datuk Sepuluh Dua Kuta dan Datuk Sukapiring. Tindakan Sultan Deli ini telah menimbulkan kegelisahan dan tantangan rakyat. Berbagai keberatan yang diajukan tidak digubris oleh Sultan Deli. Bahkan pada 1870, kembali Sultan Deli memberikan konsesi tanah kepada perusahaan De Rotterdam. Rakyat dilarang menanam tembakau atau tanaman lainnya, padahal tanah itu adalah tanah adat yang sudah mereka miliki selama berabad-abad secara turun temurun. Akhirnya hubungan Deli dan Sunggal memanas.

Datuk Sunggal juga tidak begitu senang dengan kehadiran orang-orang Cina di perkebunan-perkebunan yang masuk wilayah kekuasaan Sunggal, karena kehadiran mereka sangat mengancam kelangsungan perekonomian rakyat Sunggal dan secara tidak langsung merusak moral masyarakat. Sebagaimana dikatakan Datuk Kecil ketika ia diinterogasi di penjara Tanjung Pinang Riau bahwa, “Mereka tidak setuju tanah rakyat yang subur dibagi-bagi begitu saja seenaknya oleh Sultan Deli kepada perkebunan-perkebunan Belanda”. Dengan datangnya orang “Belanda kebon” (pengusaha Belanda yang bergerak dalam usaha perkebunan), juga berduyun-duyun masuk orang Cina yang kemudian diberi monopoli pachter berdagang garam, candu, dan membuka tempat-tempat perjudian di mana-mana. Sebagai contoh dikemukakan bahwa penjualan candu diborongkan di Sunggal saja naik dari $50,- menjadi $600.-dalam dua tahun saja.

Kehadiran pengusaha perkebunan yang kapitalistik dan orang-orang Cina sangat mengancam jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) orang-orang Batak Karo yang memang sudah tertanam sejak lama. Semangat kewirausahaan itu kini mendapat tantangan dari pendatang baru yang didukung secara tidak fair oleh kekuatan kolonial Belanda yang memanfaatkan orang-orang Cina itu untuk kepentingan mereka. Konversi tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan, berarti tanah masuk dalam objek komersialisasi. Campur tangan orang-orang pemerintahan atau gubernemen ke desa-desa mencakup pernyataan domein (domein verklaring) yang sering mengabaikan hak-hak rakyat menurut hukum adat, sehingga rakyat tidak dapat lagi memperluas tanah garapannya lagi. Dengan Aturan Pembukaan (Ontginning Ordonantie) yang diberlakukan pada 1874, setiap pembukaan tanah baru memerlukan izin pemerintah, sedangkan berdasarkan UU Agraria banyak tanah yang belum terbuka tersedia seluas-luasnya bagi perusahaan asing dengan kapitalismenya. Perlawanan masyarakat Karo segera terjadi secara sporadis sehingga mempersulit para pengusaha untuk begitu saja membuka dan menguasai lahan baru. Kesulitan pengusaha Nienhuys mengelola budi daya tembakau pada masa-masa awal kehadirannya di Deli tidak bisa dilepas dari faktor kuatnya usaha orang-orang Karo tersebut. Sudah sejak awal abad XIX orang-orang Batak Karo sudah membuka kebon lada dan menanam tembakau. Bakat mereka sebagai pengusaha sangat tampak, menyebabkan mereka sejak awal tidak bersedia menjadi kuli di perkebunan tembakau. Karl J. Pelzer menyatakan bahwa “[...] Bakat orang Batak Karo sebagai pengusaha memang menonjol. Dengan kecerdasan yang patut dipuji, beberapa pemimpin mereka mampu menemukan jalan dan cara untuk mengorganisasikan industri yang baru disertai sistematisasi produksi dan pemasarannya. ” Kehadiran orang Cina di Sunggal selalu dicurigai dan bahkan ada yang ditangkap oleh Datuk Badiuzzaman dan dipenjara atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata dan menjual candu. Penangkapan inilah yang kemudian menjadi argumentasi kuat Pemerintah Belanda untuk menggempur Sunggal. Karena melalui penjelasan Orang Cina (bernama Anton) inilah diketahui bahwa ada mobilisasi kekuatan bersenjata yang tiap hari dilakukan oleh Datuk Sunggal. Namun sebetulnya, penyebab konflik itu secara kultural dapat dijelaskan karena terjadinya perubahan yang demikian cepat di Deli. Hanya dalam tempo delapan tahun sejak 1864, hubungan-hubungan sosial tradisional terganggu oleh hadirnya kapitalisasi perkebunan. Perubahan itu bahkan lebih cepat dari yang apa yang dapat diperhitungkan orang-orang pribumi. Akibatnya, bila di daerah lain, kemajuan secara bertahap dapat diterima oleh masyarakatnya secara bertahap pula, maka di Deli perubahan itu demikian cepat sehingga mengganggu orde tradisional. Dengan demikian, semakin dalam penetrasi birokrasi kolonial memengaruhi struktur sosial ekonomi-politik komunitas bumiputra, semakin mendasar pula konflik kepentingan yang diakibatkan.

Antara Sunggal dan Deli

Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si pendiri kerajaan Sunggal. Adir mempunyai anak sepuluh orang, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota, dan Sukapiring. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Sesuai dengan adat Karo, maka Deli adalah “anak beru” dari Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan diserahkan Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Deli. Secara ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi karena Deli menguasai pantai dan muara-muara Sungai yang vital bagi impor dan ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli, maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan-keturunannya raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang Dipertuan Agung” dan “Arbiter” (hakim tertinggi) yang memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi posisi sebagai “Ulon Janji” (De Voornaamste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di Deli, maka ia berhak membacakan penabalan/pengesahan raja-raja Deli. Ketiga, masing-masing raja Urung (Datuk ber-Empat) merdeka dalam wilayah masing-masing.

Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang surut. Pada 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan berusaha menaklukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan politik, yakni menyunting Dajan Sermaidi (Sermaini) anak Datuk Undan raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi bawahan Deli hingga akhirnya pada 1822 Deli menyerang Sunggal. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal

masa itu. Serangan ini bukan membuat Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo. Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar Laut (1823) memutuskan menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun Deli takluk pada Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan kuning, dengan cap/lambang gajah. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut yang telah berusia 45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Abdul Hamid, Abdul Jalil, dan Mahini, menjelaskan bahwa ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski telah ada perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara Sunggal dan Deli. Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan yang ramai dikunjungi orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual hasil-hasil buminya. Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris hendak membuka perdagangan dengan Sunggal, maka perlu dibuat Pos Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu, Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit hasil-hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia. Posisi Sunggal yang strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di bawah kepemimpinan Datuk Akhmad (1845-1857) dan Deli di bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar. Datuk Akhmad bahkan diberi gelar Datuk Indra Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama Serbanyaman sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah subur di daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan/pemerintah kolonial Belanda, maka hubungan Deli-Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1875. Perang itu, bagi Deli adalah upaya klasik untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal adalah upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum adanya Kerajaan Deli.

Datuk Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada 1845-1857. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal (sekarang terletak di Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan.) Ia mempunyai delapan orang anak: 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim, Datuk Mohd. Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif, Aja Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Datuk Akhmad mempunyai saudara Datuk Jalil, Datuk Muhammad Dini (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk Jalilb kawin dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk Muhammad Dini (Kecil) kawin dengan puteri Selesai dan mempunyai dua orang anak Suman dan seorang perempuan. Ketika Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzaman masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai tahun 1866. Dia adalah seorang yang sangat anti Belanda dan sekaligus anti Deli. Karena bertindak sebagai pemangku Sunggal selama 9 tahun, tidak heran bila ia mempunyai pengaruh yang kuat di Sunggal, termasuk kepada kemenakannya Datuk Badiuzzazman. (Ketika perlawanan meletus kontak antara Datuk Badiuzzaman di Sunggal dengan Datuk Djalil dan Datuk Kecil di desa Gajah dilakukan dengan melalui kurir).

Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Udang Agraria, pihak perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa meyewa tanah dengan jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah 75 tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebuah lahan yang habis dipanen harus dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.

Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan gerakan fasifikasi ke Deli, sangat membutuhkan bantuan para inverstor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu. Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisonal (Sultan Deli). Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzzaman Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak Karo dari pegunungan mengadakan rapat di sebuah kebun lada. Rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dari pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Lasykar Aceh, Alas, Gayo.

Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman mengatakan bahwa “perselisihan sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan marilah kita bersama-sama melawan Belanda yang hendak merampas tanah kita…”. Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri.” Rapat itu memutuskan (a) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dan segala perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus dilenyapkan; (b) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur untuk masyarakat; (c) Sunggal. Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya. Untuk merealisasi hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang dipusatkan di Kampung Gadjah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dari orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil) dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal dengan “tapian jawi” (pemandian orang Islam).

Datuk Badiuzzaman dan Perang Sunggal Mei - Oktober 1872

Dukungan masyarakat Sunggal terhadap rencana perlawanan Datuk Badiuzzaman terhadap Belanda demikian besar. Dukungan itu tampak dengan banyaknya sumbangan uang dari setiap rumah tangga di Sunggal sebesar 2 sampai 10 dollar yang digunakan untuk mempersiapkan basis pertahanan perang. Para pejuang Sunggal kemudian menempelkan pernyataan perang yang menurut kebiasaan orang Karo dinamakan “musuh beringin” pada tempat-tempat tertentu yang menyatakan bahwa kepada mereka yang berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar. Melalui Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulong Barat sebagai komandan yang langsung menggerakkan perlawanan rakyat di lapangan terus dilakukan persiapan. Timbang Langkat dijadikan basis pertahanan dengan diperkuat oleh 1500 pasukan. Bukan hanya itu, koordinasi dengan Kejeruan Selesai dan Bahorok di Langkat terus digalakkan. Koordinasi ini relatif mudah karena ada hubungan kekeluargaan antara para pembesar Sunggal dan kedua Kejeruan tersebut, yakni istri Datuk Kecil dan Datuk Jalil adalah putri dari Kejeruan Selesai. Kekuatan para pejuang Sunggal sudah mencapai 1000 orang Karo dan 500 orang Melayu. Sebagian besar mereka dipersenjatai dengan senapan pemburas (senapan locok). Dukungan masyarakat Karo sebenarnya bukannya hanya dari Sunggal, tetapi juga dari Tanah Tinggi Karo. Sebagaimana dijelaskan di bagian depan, bahwa sebagai Raja-Raja Urung Sunggal adalah bermarga Surbakti dari Kampung Gadjah di Tanah Karo, maka tidak mengherankan jika kecintaan orang-orang Karo terhadap Datuk Badiuzzaman demikian tinggi. Bagi orang Karo, marga Surbakti memiliki nilai lebih daripada orang Karo lainnya. Terutama sejak Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti mengambil sikap menentang penjajahan Belanda. Masyarakat Karo di Tanah Tinggi Karo memiliki strategi dan cara tersendiri dalam memberikan bantuan kepada perjuangan Datuk Badiuzzaman. Dalam memberikan bantuan tersebut, menurut Tampak Sebayang, ada enam jalur perjuangan yang secara tradisional dipergunakan masyarakat Karo. Jalur perjuangan ini sebenarnya juga adalah jalur budaya dan perdagangan yang secara tradisional digunakan orang-orang Karo sejak dahulu untuk berdagang dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya di daerah Deli, Langkat, Serdang, dan Aceh.

Jalur dagang itu secara rinci adalah sebagai berikut. Dari Desa Gadjah (Kampung Surbakti) -Kawar-Pamah Sembilir-Telagah-ke Langkat/Binjai. Dari Lau Sigedang- mengikuti aliran Sungai Bingai- terus ke Subekan-Tanduk Benua-ke Binjai. Dari Sibolangit-ke Tanduk Benua. Dari Sembahe-ke Tanduk Benua. Dari Talun Kenas- Deli Tua-Rumah Bacang- Pancur Batu- Sungai Belawan- Tanjung Selamat - ke Sunggal. Dari Tamiang (Aceh)- Berandan-Tajung Pura-Binjai-Namu Ukur- Tanjung Gunung-Sawit-Subeikan- Tanduk Benua. Jalur-jalur inilah yang dipakai para pejuang Sunggal dalam membantu perjuangan; melawan Belanda. Melalui jalur inilah mengalir bantuan berupa lasykar/pasukan dan logistik perang lainnya.

Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa salah satu pasukan dari Tanah Karo adalah Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja), dan ada lagi bernama Pa Blegah dan Pa Tolong. Nabung Surbakti mempunyai seorang asisten bernama Pangaring (Rasyid) Sebayang. Dengan demikian, salah satu yang berperan sebagai kurir dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan koordinasi perlawanan adalah Pangaring Sebayang. Di samping itu, ada juga kurir-kurir yang berperan sebagai pedagang garam. Kurir-kurir itulah orang-orangnya Datuk Badiuzzaman yang sekaligus sebagai penyampai pesan (musuh beringin), logistik, dan juga pasukan. Peranan kurir dalam perang Sunggal demikian penting, karena bagi orang Karo pesan yang disampaikan melalui seorang kurir itu lebih berharga daripada melalui surat saja. Dengan cara itu Datuk Badiuzzaman melakukan kontak dengan semua pasukan pejuang Sunggal yang berada di Aceh, Tanah Karo, Langkat, dan Serdang sehingga ia mendapat bantuan logistik dan pasukan. Persiapan untuk melakukan perlawanan sudah matang. Setiap hari sebagaimana dikatakan orang Cina yang bernama Anton (pedagang Candu) yang ditangkap oleh Datuk Sunggal dan kemudian dilepaskan, rakyat sudah dipersenjatai secara besar-besaran di Sunggal, di bawah pimpinan Panglima Dalam Sunggal. Ia juga menjelaskan bahwa Datuk Badiuzzaman terus berhubungan dengan Datuk Jalil dan Datuk Kecil melalui surat atau kurir. Sebagaimana disebutkan kontrolir Deems dalam laporannya tangal 12 Juni 1872, selain putra-putra Datuk Jalil, Sulong Barat, Sulong Putra, Bintang Siak, juga turut Wan Musa dari Sinembah dan Tengku Sulong Hebar, putra Kejeruan Selesai. Di samping itu, Kejuruan Bahorok, Kejeruan Stabat Tan Mahidin, dan orang-orang Batak dari hulu Langkat mendukung para pejuang Sunggal setelah mereka mengadakan rapat di Tanjung Jati. Setelah rapat itu, para pejuang Sunggal mulai membakari bangsal-bangsal tembakau dan rumah-rumah tuan kebon Belanda. Akibatnya, produksi tembakau berhenti. Para Tuan Kebon itu berlarian membawa anak dan istrinya mengungsi ke Labuhan Deli. Sunggal benar-benar dalam keadaan kacau balau. Residen Riau Schifft melaporkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia bahwa ia telah menerima surat dari seorang Tuan Kebon di Deli bernama Hagge Lies, yang menyatakan para pejuang Sunggal sudah memasuki Langkat dan Deli dan sebanyak 40 keluarga Tuan Kebon dari Deli dan Langkat telah diungsikan ke pelabuhan.
Sementara pada April 1872 Tuan Munnick melaporkan bahwa kuli Tuan H.H. Schlatte dan Peijer yang sedang membangun jalan menuju Langkat harus menghentikan pekerjaan mereka karena diancam oleh 40 orang Batak Karo atas perintah dari Datuk Sunggal. Dalam sebuah pertemuan antara Sultan Deli, Komandan Kapal Bangka, dan Kontrolir Deems diketahui bahwa sejak Agustus 1871 di wilayah Sunggal sebenarnya sudah terjadi oposisi terhadap kekuasaan Sultan Deli dan perusahaan perkebunan. Oposisi itu sebenarnya dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman yang mendapat pengaruh dan dukungan kuat dari Datuk Kecil dan saudaranya Datuk Djalil, yang walaupun sudah berusia lanjut masih berusaha memerdekakan Sunggal dari Deli dan Langkat. Sebenarnya usaha Sultan Deli untuk membujuk Datuk Sunggal, Datuk Jalil, dan Datuk Kecil sudah dilakukan, tetapi selama ini mengalami kegagalan. Para Datuk dari Sunggal tetap tidak mau menghadiri undangan Sultan Deli untuk berunding. Datuk Kecil menolak datang ke Deli dengan alasan bahwa Sunggal adalah tanah airnya dan bahwa ia tidak ada urusan apa-apa dengan Sultan Deli dan memprotes tindakan kontrolir Deems yang melarang masuknya mesiu dan timah. Menanggapi situasi yang membahayakan bagi kepentingan perkembangan perkebunan tembakau dan mengancam keamanan dan ketertiban (rust en orde) di Deli maka Kontrolir Deli, Deems, memanggil Datuk Badiuzzaman sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban di Sunggal ke Labuhan Deli. Datuk Badiuzzaman memenuhi panggilan itu dan ia ditanyai seputar berita-berita yang sedang terjadi di Sunggal. Datuk Badiuzzaman menjelaskan bahwa Sultan telah bertindak kasar dan telah menahannya, tetapi tentang mempersenjatai para pengikutnya ia tidak memberikan komentar sedikit pun. Pemerintah Belanda akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan operasi menghancurkan kekuatan pejuang Sunggal. Dengan agak tergesa-gesa, sebuah ekspedisi militer gabungan dari kesatuan Angkatan Darat (Infantri, Artileri dari Garnizun Tanjung Pinan) dan Korp Marinir Angkatan Laut dari Kapal perang Bangka, dan Den Briel di bawah pimpinan Kapten W. Koops tiba di Labuhan Deli dan langsung menuju Sunggal pada 15 Mei 1872. Pasukan Belanda dibantu oleh 200 orang prajurit Sultan Deli di bawah pimpinan Raja Muda Sulaiman dan beberapa ratus prajurit Pangeran Langkat di bawah pimpinan Tengku Hamzah dan Datuk Laksemana, dibantu oleh beberapa ratus buruh perkebunan tembakau untuk mengangkut logistik dan persenjataan. Pasukan Belanda ini langsung menuju perkebunan Arendsburg (Klumpang) dan Rotterdam. Sementara itu, pasukan pejuang Datuk Sunggal sudah menempati kawasan Timbang Langkat memanjang ke Hamparan Perak-Tanduk Benua-Sapo Uruk-Sunggal. Mereka juga didukung oleh pasukan Aceh yang berkedudukan di sepanjang pesisir Langkat hingga ke Pulau Kampai. Pasukan Karo menempati daerah dari Bukum- Buluhawar-Pariama-Tuntungan-Padang Bulan-Sunggal. Dalam kontak tembak tanggal 17 Mei 1872 para pejuang Sunggal berhasil menewaskan dua orang serdadu Belanda bernama Angelink dan Schoon dan melukai beberapa orang, termasuk Letnan Lange Komandan Marinir Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1872, pasukan Datuk Sulong Barat berhasil menghancurkan pasukan Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk Benua. Tiga hari kemudian pasukan Infantri Belanda di bawah pimpinan Kapten Koops dan Altileri di bawah pimpinan Van de Meurs diserang para pejuang Sunggal. Pasukan Belanda mengundurkan diri menuju kebon Enterprise (Kampung Lalang), di seberang Sungai Sunggal dengan meninggalkan beberapa orang korban.

Mengingat perlawanan demikian hebat dari pejuang Sunggal maka Pemerintah Belanda melalui Assisten Residen Riau, Locker de Bruijne, berusaha memutuskan hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman dengan para komandan pasukan di daerah Timbang Langkat dan hutan pegunungan. Beberapa Kepala Kampung Karo dikumpulkan dan Datuk Badiuzzaman dipaksa untuk menyerahkan para pejuang Sunggal dan memerintahkan agar orang-orang Melayu yang ikut bertempur di hutan-hutan agar kembali ke rumah masing-masing. Oleh karena Datuk Badiuzzaman tidak bersedia bekerja sama maka ia dikenakan tahanan kota di Labuhan Deli. Sultan Deli tanggal 8 Juni 1872 juga mengumpulkan para penghulu kampung Karo dan memerintahkan kepada mereka agar dalam tempo paling lama 9 hari menangkap para pemimpin pejuang Sunggal, yaitu Datuk Kecil dan kawan-kawannya di lapangan. Bahkan Sultan menjanjikan hadiah sebesar $400 bila berhasil menangkap semuanya dan $120 untuk seorang. Tapi usaha ini juga tidak berhasil. Bahkan para pejuang Sunggal malah menyerang Belanda di Kebon Enterprise dan Perkebunan Padang Bulan. Pasukan Belanda kemudian mengungsikan semua keluarga orang kulit putih (Eropa) ke Labuhan. . Pada 10 Juli 1872 Kebon Kampung Lalang diserang lagi, meskipun Letkol van Hombracht sudah mengambil alih pimpinan pasukan Belanda di perkebunan itu. Letkol van Hombracht luka parah. Pada 20 Agustus 1872, pasukan Belanda dipukul mundur di Rimbun. Mayor van Stuwe yang membawahi 350 pasukan infantri dan artileri termasuk 14 orang perwira mendapat serangan dahsyat di sepanjang Lau Margo. Oleh karena upaya membujuk Datuk Badiuzzaman, Penghulu Gadjah, beberapa penghulu kampung Karo lainnya tidak berhasil maka Belanda menggempur markas pejuang Sunggal di Lau Margo. Kuatnya perlawanan rakyat Sunggal terbukti dalam tahun 1872 sudah 3 kali ekspedisi militer Belanda dengan bantuan langsung dari Batavia untuk mematahkan perlawanan rakyat Sunggal. Belanda sebenarnya tidak mampu secara militer menangkap para pimpinan pejuang Sunggal. Datuk Badiuzzaman sebenarnya adalah sosok penguasa Urung/Sunggal yang secara sembunyi-sembunyi terus melakukan kontak rahasia dengan para komandan lapangan (Datuk Kecil dkk). Sebagaimana dikatakan Sultan Deli, “Hampir setiap malam melalui para kurir orang Karo Datuk Sunggal menerima pesan-pesan dari Datuk Kecil dkk”. Semua kerabat Datuk Sunggal secara terang-terangan telah membenci Belanda.

Perjuangan lewat Perang dan Perundingan

Medan perang yang sangat luas dan keterbatasan personel, membuat Belanda berusaha menawarkan perdamaian. Residen Riau Schiff juga melalui kurir sering menawarkan perdamaian dengan Datuk Kecil dan rekan-rekannya dan juga kepada Datuk Badiuzzaman. Dengan menggunakan Sultan Deli, Belanda menawarkan gencatan senjata dan bersedia menarik pasukannya. Mengingat Sultan Deli merupakan anak beru Sunggal maka untuk kedua kalinya Datuk Badiuzzaman mau berunding dengan Sultan Deli. Datuk Sunggal rupanya masih menaruh harapan akan penyelesaian konflik yang tidak serta merta harus diakhiri dengan kekerasan atau perang. Lewat perundingan dapat dicapai penyelesaian yang baik dari sisi rakyat bumiputera Sunggal maupun bagi Belanda dan Sultan Deli.

Perundingan ini harus dilakukan di tempat netral, yakni di sekitar Kampung Lalang dan Belanda harus melucuti pasukannya. Berdasarkan kesepakatan itu maka Datuk Badiuzzaman dengan rombongan diiringi musik serdadu Belanda (tanpa senjata) daan diantar Datuk Sulong Barat, menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Datuk Mohd. Jalil dan Datuk Kecil yang saat itu sedang sakit di Kampung Gadjah. Pada 20 Oktober tibalah rombongan Datuk Kecil dengan diiringi pasukan pengawalnya di Sunggal. Kemudian, dengan dikawal pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Ponstein rombongan Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecil menuju tempat perundingan di perkebunan Arensburg (Klumpang) tempat tinggal sementara Schifft, Residen Riau. Rupanya harapan Datuk Badiuzzaman yang masih menaruh harapan akan niat baik Belanda dalam perundingan antara pihak yang bertikai sebagai pihak yang “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” tidak terjadi. Ketika perundingan sedang berlangsung, 25 Oktober 1872, tiba-tiba Residen Riau memerintahkan kepada para Datuk Sunggal itu untuk minta ampun pada Gubernur Jenderal di Batavia.

Datuk Kecil kemudian menjawab bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa dan tidak perlu minta ampun. Namun, Residen Riau kemudian menyatakan bahwa mereka sekarang telah menjadi tawanan dan memerintahkan kepada Letnan Kolonel van Stuwe untuk melucuti semua pasukan pejuang Sunggal. Para pengawalnya orang-orang Batak Karo disuruh kembali ke Sunggal, yang lainnya dibawa ke Labuhan Deli. Datuk Kecil, Datuk Mohd. Jalil, Sulong Barat, dan empat pengawalnya selanjutnya dibawa naik kapal “Den Briel” ke Tanjung Pinang dan kemudian ke Batavia tanggal 4 November 1872. Sementara Datuk Badiuzzaman, Datuk Alang Muhammad Bahar, dan beberapa pejuang lainnya diinterogasi dan kemudian dilepas. Datuk Badiuzzaman tetap melanjutkan perlawanan dengan jalan memerintahkan berbagai aksi sabotase di Perkebunan Tembakau 1874-1895. Berdasarkan laporan resmi Departemen Pertahanan Hindia Belanda pada 4 Nopember 1872, korban tewas dari militer Belanda sebanyak 31 orang dan luka-luka sebanyak 592 orang. Ini tidak termasuk korban dari pasukan Sultan Deli dan Langkat dan para kuli kebon. Setelah Datuk Kecil, Datuk Mod. Jalil, dan Sulong Barat dibuang ke Jawa, kondisi keamanan di Deli pada tahun 1873 realtif aman.

Kontrak-kontrak tanah untuk perusahaan perkebunan mulai ditata kembali dengan lebih memperhatikan kesejahteraan para penduduk pribumi. Sewa tanah dalam kontrak-kontrak yang dilakukan oleh para pengusaha bangsa Eropa, seluruhnya diperuntukkan bagi Datuk empat suku di Deli, sepanjang tanah-tanah itu masih masuk wilayahnya. Pada 14 Juni 1873, peraturan ini diperkuat dengan akte baru. Para penghulu Batak Karo yang terlibat dalam perang telah diberi amnesti, tapi mereka tetap menunggu dilakukannya pesta perdamaian sesuai dengan adat Karo sebagai tanda adanya perdamaian. Meskipun demikian, kondisi keamanan di Deli kembali tidak aman bagi para pengusaha perkebunan Eropa dan para pejabat Belanda. Masih dalam bulan Mei 1873, ada informasi bahwa sejumlah orang Alas dari orang-orang Aceh yang berdiam di Perbatasan Langkat Hulu (Atas) telah menerima surat dari Sultan Aceh yang isinya mengajak untuk berperang melawan Belanda. Surat seperti itu pun beredar di Kampung Sitelu Kuru, tempat asal-usul raja-raja Urung Sunggal Serbanyaman. Berita-berita itu malah sampai ke para pengusaha perkebunan dan sangat mencemaskan dengan adanya 10.000 pasukan dari Deli Atas dan Langkat akan turun ke Deli Bawah menyerang orang-orang Eropa. Ternyata berita ini memang sangat dibesar-besarkan, sehingga Belanda tidak jadi mengirim bantuan pasukan dari Tanjung Pinang. Tetapi kontrolir Kroesen dibuat sibuk dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah Langkat Atas. Memang berita itu bisa saja dibesar-besarkan, tapi ketenteraman di Deli, khususnya keselamatan para tuan kebon Eropa dan perkebunannya belum sepenuhnya aman.

Datuk Badiuzzaman, setelah Datuk Kecil dan rekan-rekannya, ditangkap kemudian mengubah pola perjuangan dari perang frontal menjadi serangan sporadis ke bangsal-bangsal tembakau milik perusahaan perkebunan Eropa dengan tujuan memberikan rasa tidak aman bagi Tuan Kebon Eropa bersama keluarganya dan menghentikan produksi perkebunan dan ekspansi areal perkebunan. Tembakau yang disimpan di bangsal-bangsal dan siap untuk diekspor dibakar sebagai tindakan balasan terhadap aksi penyerobotan tanah-tanah rakyat Sunggal oleh perusahaan perkebunan tembakau dan dilindungi pasukan Belanda yang ditempatkan di setiap emplasmen perkebunan. Setiap bangsal tembakau yang akan diserang/dibakar ditempelkan terlebih dahulu tanda adat “musuh beringin”. Dalam sebuah pertemuan antara Assisten Residen Siak, Locker de Bruijne, Sultan Deli, dan Datuk-Datuk Empat Suku, bulan April 1873, Locker de Bruijne secara tegas memperingatkan Datuk Badiuzzaman apabila masih ada gangguan keamanan dan ketertiban di wilayahnya, maka yang harus bertanggung jawab adalah Datuk Badiuzzaman. Rapat ini dilakukan karena keamanan mulai terganggu lagi, apalagi setelah utusan dagang Sultan Deli hilang tidak diketahui rimbanya. Kejadian itu membuktikan bahwa perlawanan rakyat Sunggal tidak berhenti, bahkan semangat perlawanan itu terus membara dan ditebarkan oleh Datuk Badiuzzazman.

Tetap Menolak Tunduk

Di bawah pimpinan Datuk Badiuzzaman dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar, rapat-rapat rahasia sering dilakukan dengan pemuka masyarakat di beberapa tempat, termasuk di Kampung Pagar Batu atau Pancur Batu. Dalam rapat itu mereka tetap tidak mau mengakui kekuasaan Sultan Deli atas Sunggal dan membahas cara melakukan serangan terhadap perkebunan. Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar. Keadaan di Deli semakin gawat dengan munculnya bahaya kelaparan. Keadaan ini terjadi karena adanya aksi pemboikotan rakyat petani yang turut bersimpati dengan perjuangan Datuk Sunggal tidak dan mau menjual berasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda mengimpor beras dari Rangon (Birma).
Hingga tahun 1866, gerakan pengacauan di perkebunan tembakau terus berlangsung. Schadee melaporkan bahwa para pemilik perkebunan beserta keluarganya di beberapa tempat mati terbunuh. Mereka yang selamat menjadi panik dan melarikan diri ke Medan. Gerakan pengacauan ini semakin meluas sehingga hampir semua bangsal perkebunan milik orang Eropa tidak dapat diselamatkan. Setahun kemudian, tepatnya bulan Agustus 1876, Tuan Van Der Sluis dkk pemilik perkebunan Sungai Tawar yang terletak di Babalan Langkat, diserang oleh orang-orang Gayo. Administratur Perkebunan terluka dan rumahnya dibakar. Sebulan kemudian, September 1876, Perkebunan Tandem dekat Sungai Bingei milik Tuan Peyer en Van Gulich juga diserang orang-orang Gayo. Dalam serangan itu seorang Eropa meninggal dan beberapa orang kuli terluka. Pada Bulan Oktober 1876, sebuah perkebunan Sungai Diski giliran mendapat serangan dari orang-orang Gayo dan Melayu dari Kampung Sialang Moeda. Istri pemilik perkebunan J. Lohmann dan dua putranya mati dibunuh dan beberapa orang yang tinggal serumah mengalami luka-luka. Pemerintah Belanda segera mengambil tindakan untuk melindungi perkebunan.

Polisi segera berhasil menangkap para pelaku penyerangan, yakni empat orang Batak Karo dan dua orang Melayu ditembak mati, enam orang lainnya dihukum kerja paksa. Pemimpin utamanya bernama Razal dipenjara. Setelah dilakukan aksi pembersihan oleh Belanda, ternyata diketahui bahwa serangan-serangan itu diperintahkan oleh Panglima Selan, seorang Batak Karo yang memiliki pengaruh di kalangan orang-orang Gayo yang bermarkas di Si Umpih-Umpih (kira-kira 10 jam perjalanan dari Timbang Langkat). Ia memang sudah sering membuat keonaran dan setelah itu ia menghimpun sejumlah orang sekampungnya untuk menyerang perkebunan Ajer Tawar. Pada bulan November 1887 markasnya digempur pasukan militer Belanda, tetapi Selan dan pengikutnya sudah meninggalkan tempat itu. Namun demikian, semua barang yang menurut Belanda merupakan hasil rampasan dalam tiap aksi penyerangannya berhasil ditemukan Militer Belanda di Sungai Diski. Berbagai penyerangan yang dilakukan Panglima Sekalian sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Datuk Badiuzzaman menentang kolonialisme Belanda, sebagai startegi meneruskan perjuangan setelah paman-pamannya Datuk Kecil, Datuk Jalil, dan Sulong Barat dibuang Belanda ke Jawa.
Panglima Selian sebenarnya adalah anak buah Datuk Alang Bahar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua aksi pembakaran perkebunan di Tandem, Sungai Mencirim, Diski, Gedong Johor, dan penghadangan pasukan militer Belanda adalah atas perintah Datuk Badiuzzaman dan adiknya, Datuk Alang Bahar.

Mengingat semakin seringnya aksi-aksi pembakaran terhadap perkebunan maka Belanda mulai merencanakan strategi Kristenisasi melalui lambaga Alkitab Belanda (Zending) untuk memecah belah persatuan antara orang Melayu dan Karo Sunggal. Mereka mendukung kegiatan zending untuk membendung pengaruh Melayu/Islam di kalangan orang Batak Karo yang non-Islam. Wujud tindakan memecah kesatuan antara orang Melayu dan Karo juga tampak dalam berbagai laporan pemerintah kolonial Belanda yang selalu menyebut aksi-aksi pembakaran perkebunan dilakukan oleh orang Batak, tidak disebutkan oleh orang Karo.
Politik pecah belah itu tidak berhasil dan bahkan persatuan antara orang Karo/Melayu Sunggal dengan Batak Karo di Pegunungan makin kuat untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan Belanda. Bagaimanapun, aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau membuat produksi perkebunan menurun dan pada gilirannya mempengaruhi perekonomian Hindia-Belanda. Belanda akhirnya berusaha keras untuk mengatasi aksi-aksi sabotase tersebut, termasuk dengan mempergunakan mata-mata yang disusupkan ke Sunggal. Upaya ini berhasil. Berdasarkan seorang mata-mata wanita bernama Lelau, didapat sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa sebenarnya otak dari segala aksi-aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau itu adalah Datuk Badiuzzaman. Oleh karena itu, dalam sebuah pertemuan pada 1894, yang digagas untuk mencari jalan keluar atas kemelut yang terjadi di Deli, Assisten Residen Siak mengusulkan agar Datuk Badiuzzaman segera disuruh ke Batavia menemui Gubernur Jenderal dalam rangka mengatasi masalah di Deli. Usul ini diterima Datuk Badiuzzaman dengan hati bersih. Dengan didampingi Datuk Alang Muhammad Bahar (adiknya), Datuk Mahmud (sekretarisnya) dan Daim (ajudannya) berangkatlah menuju Batavia meninggalkan seluruh anak dan istrinya di Sunggal. Sesampainya di Batavia, ternyata, Datuk Badiuzzaman belum juga dipertemukan dengan Gubernur Jenderal dan ia tidak diperbolehkan pulang ke Sunggal. Hingga suatu ketika, seorang pengacara yang menemuinya menyatakan sebenarnya mereka telah menjadi orang buangan. Sadarlah Datuk Badiuzzaman bahwa mereka telah ditipu oleh Belanda. Mereka bisa ditolong asal mau mohon ampun atas kesalahannya pada saat hari ulang tahun Raja Belanda, lewat Gubernur Jenderal di Batavia. Akan tetapi, Datuk Badiuzzaman tetap pada pendiriannya bahwa sampai mati pun ia tidak akan mau berjongkok atau merunduk di hadapan penjajah, apalagi minta ampun pada Belanda karena itu adalah sebuah pantangan dari nenek moyangnya. Akhirnya, Datuk Badiuzzaman dan sang adik, Datuk Alang Mohd. Bahar dipenjara di Bengkalis, Riau.

Kemudian melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 3 Tanggal 20 Januari 1895 mereka dihukum buang seumur hidup. Datuk Badiuzzaman dibuang ke Cianjur dan Datuk Alang Mohd. Bahar dibuang ke Banyumas. Mendengar kabar itu, rakyat Sunggal berkabung selama 3 bulan sebagai tanda hormat dan setia pada pemimpin mereka. Ketika sholat Jumat, selama tiga bulan berturut-turut mereka mendoakan para pejuang rakyat Sunggal. Sama seperti yang dialami pamannya, Datuk Kecil dan Datuk Mohammad Jalil, Datuk Badiuzzaman juga tidak pernah lagi melihat anak-istri dan keluarganya sampai meninggal di pembuangan. Datuk Badiuzzaman dikuburkan di Cianjur dan makamnya dikenali masyarakat setempat dengan nama “Makam Istana Deli”. Datuk Alang Mohd. Bahar dikebumikan di Desa Lampui, Kecamatan Jombang, Banyumas, Jawa Tengah. Dengan demikian, hampir 2/3 hidupnya diabdikan untuk menentang penjajahan Belanda di Deli/Sumatera Timur. Ia tetap menggelorakan semangat anti Belanda dan anti Deli di kalangan rakyatnya dan konsisten tanpa mau menyerah pada tekanan Belanda.

Sunggal Sepeninggal Datuk Badiuzzaman

Pembuangan Datuk Badiuzzaman ke Pulau Jawa menyebabkan takhta Sunggal kosong. Oleh karena Putra Datuk Badiuzzaman, Datuk Muhammad Munai, masih kecil maka berdasarkan musyawarah keluarga ditunjuklah Datuk Muhammad Alif, pamannya, sebagai pemangku kerajaan Sunggal selama enam tahun dari 1895-1901. Datuk Muhammad Munai diangkat menjadi Raja Sunggal tahun 1901. Ia mempunyai 6 orang anak, yakni Datuk Muhammad Jalib, Datuk Muhammad Hasan, Datuk Muhammad Hitam, Datuk Muhammad Bagus, Datuk Muhammad Nur, dan Datuk Hermasnyah. Datuk Mohd. Hasan mempunyai 5 orang anak, yaitu Aja Nazariun, Datuk Saifi Ichsan, Aja Sachila, Aja Herlila, dan Aja Masitah. Datuk Muhammad Hitam mempunyai lima orang anak, yaitu Aja Miliunnah, Datuk Ahmad Neil, Aja Mahnon, Aja Nurulaini, dan Datuk Agustin. Datuk Mod. Bagus mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Zulkarnaen, Datuk Harmaen, Aja Arfah, Datuk Muaz, Datuk Hundri, Aja Chalizah, Aja Chairiah, Datuk Musa, dan Aja Elfira. Datuk Mohd. Nur mempunyai tujuh orang anak, yaitu Datuk Alisyah, Datuk Arifin, Aja Nurlian, Datuk Helmi, Datuk Aswadi, Datuk Alman, dan Aja Mahyun. Datuk Hermasyah mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Mariamah, Aja Syafinat, Datuk Nazeli, dan Datuk Amansyah. Beliau memerintah selama 7 tahun sampai 1907. Takhta Sunggal kemudian digantikan oleh Datuk Muhammad Jalib, namun mengingat ia masih kecil maka Sunggal kembali dipangku oleh Datuk Yusuf. Datuk Yusuf memerintah Sunggal sampai tahun 1914.

Datuk Muhammad Jalib naik takhta tahun 1914 dan diberi gelar Datuk Johan Sri Indra dan memegang pemerintahan sampai tahun 1923. Atas kehendaknya sendiri ia kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Datuk Muhammad Hasan, yang bergelar Datuk Sri Indra Pahlawan. Datuk Muhammad Hasan memegang pemerintahan sampai tahun 1945. Sejalan dengan masa revolusi kemerdekaan maka di Sumatera Timur bergeloralah semangat revolusioner yang akhirnya menimbulkan peristiwa Maret 1946, sebuah peristiwa penghancuran terhadap kekuasaan tradisional. Kekerasan bermula dari Sunggal, ketika beberapa unit laskar rakyat (Barisan Harimau Liar) menyerang markas Persatuan Anak Deli Islam (PADI)/Pasukan V di dekat rumah Datuk Hitam. Datuk Hitam dan sejumlah tokoh bangsawan melarikan diri ke Medan. Empat puluh keluarga bangsawan Sunggal ditangkap dan ditawan oleh Volksfront (Front Rakyat) Cabang Sunggal. Akibat aneka kerusuhan itu Kerajaan Sunggal/Serbanyaman yang telah dibangun oleh Adir Surbakti berakhir.

V. Makna Perjuangan Datuk Badiuzzaman bagi Bangsa Indonesia

Perlawanan terhadap kekuasaan Belanda sebagai advokasi atau pembelaan kepentingan rakyat kecil, yaitu para petani atau pengusaha perkebunan bumiputera, merupakan inti perjuangan Datuk Badiuzzaman. Pemodal asing atau pemerintah kolonial dilawan bukan karena melulu orangnya, tetapi lebih-lebih karena tindakan atau perbuatannya yang tidak memenuhi rasa keadilan. Pada masanya, semangat juang itu memengaruhi jiwa dan semangat bagi perlawanan rakyat yang terjadi di Simalungun di bawah pimpinan Sanggar Baru dan Raja Aing. Di tanah Karo dipimpin oleh Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII (1849 – 1907), dan gerakan Tiga O di Tapanuli yang dipimpin oleh Tuan Manulang. Tentu saja, belum dapat dikatakan bahwa perlawanan dan perjuangan rakyat itu menjadi satu-satunya sumber inspirasi dari perjuangan itu. Akan tetapi, perlawanan-perlawanan yang muncul itu ada benang merahnya yang sama, yaitu suatu gerakan emansipasi atau persamaan hak dan status masyarakat bumiputera terhadap tekanan dan penindasan asing yang diwakili oleh kekuasaan Kompeni Belanda.

Perang yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman atau Perang Sunggal memang berakhir pada 1895, tetapi bukan berarti perlawanan rakyat itu berakhir. Dengan berbagai cara dan tindakannya sendiri, rakyat meneruskan perlawanan menentang kolonialisme dan ekspansi pemodal asing yang mengisap kekayaan alam bumi Indonesia. Lewat gangguan pada pemukiman para kuli dan pembakaran bangsal penggilingan tembakau, rakyat menunjukkan bahwa perlawanan itu masih terus berlangsung. Gerakan Aron yang merupakan gambaran gejolak para petani di Deli yang terus bergerak dan berjuang bahkan sampai saat tentara Jepang menduduki Nusantara, juga menjadi bukti semangat juang itu tidak berhenti. Kerja sama yang digalang oleh Datuk dari Sunggal itu antara lain dengan pemimpin dan rakyat di Tanah Karo, dengan kesultanan Aceh, menjadi lahan yang menyuburkan semangat nasionalisme yang anti penjajahan.

Perlawanan Datuk Badiuzzaman dapat dipatahkan lewat konspirasi dan kolusi pemodal swasta asing dengan pemerintah Belanda, dibantu oleh elite tradisional yang tidak memiliki jiwa nasionalistik. Meskipun berbeda kepentingan dan pandangan politik dengan Sultan Deli, dalam rangka menjalin semangat perjuangan “bangsa” atau kaumnya, Datuk Badiuzzaman tetap meneruskan tali silaturahmi dengan tetap mau diajak berunding. Perundingan sebagai niat baik sang datuk pun bisa ditunggangi oleh kepentingan Belanda, tetapi datuk tetap tidak mundur. Melihat kekuatan lawan, pasti Datuk Sunggal bisa memperhitungkan hasilnya, bahwa perjuangan itu tidak mudah, namun dia tidak mau menyerah. Ia dengan rela menanggung risiko atas prinsip perjuangan yang dipikulnya dengan hukuman pembuangan hingga akhir hayatnya. Memang, perjuangan untuk masyarakat mewujudkan keadilan, persatuan, dan kemerdekaan tidak mudah, bahkan pada masa sekarang pun. Usaha itu memerlukan perjuangan panjang yang menuntut pengorbanan besar, baik waktu, materi, bahkan pengorban jiwa. Perjuangan Datuk Badiuzzaman telah menjadi inspirasi dan semangat bagi masyarakat pada zamannya dan bagi warga negara Indonesia pada masa kini, bahwa cita-cita emansipasi dan mewujudkan kesejahteraan bangsa ini tidak akan pernah selesai. Dalam konteks itulah, bangsa Indonesia menghargai dan tetap menjunjung tinggi semangat dan perjuangan Datuk dari Sunggal ini untuk diaktualisasikan pada masa kini.

A. PROSEDING SEMINAR NASIONAL DATUK BADIUZZAMAN SRI
INDERA PAHLAWAN SURBAKTI PEJUANG PENENTANG
PENJAJAHAN BELANDA 1872-1895 , HOTEL ASEAN, 15 April 2006

MC
Ibrahim Nainggolan, SH

Baiklah, masuklah kita pada acara yang paling ditunggu, seminar Nasional Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti Pejuang Penentang Penjajahan Belanda 1872-1895, yang akan dipandu oleh Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, kepada bapak kami persilahkan.

Moderator
Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum

Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, pada pagi menjelang siang ini kita akan mendengarkan pemaparan dari tiga narasumber. Yaitu bapak Prof. DR. Payung Bangun, bapak Prof. DR. Anhar Gonggong, bapak Prof. DR. Ahmad Samin Siregar. Namun untuk kesempatan yang pertama kita mengharapkan pemaparan dari bapak Prof. DR. Payung Bangun. Sebelum beliau menyampaikan makalahnya, baiklah saya bacakan terlebih dahulu biodata dari beliau.

Nama : Payung Bangun
Lahir : Payung, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo
Tanggal : 23 Februari 1932

Pendidikan : 1. Sarjana Pendidikan Sejarah Budaya FKIP Unpad tahun 1960
2. Magister of Art a Science Studies University of California tahun 1970
3. DR Antropoligi dari Fakultas Sastra UI Jakarta tahun 1981
Jabatan
Akademik : 1. Asisten Jurusan Sejarah Budaya FKIP Unpad Bandung dari 1958-1960
2. Dosen di FKIP Universitas Andalas Padang dari 1960-1962
3. Dosen di IKIP Negeri Fakutlas Sastra dan FISIP USU Jurusan Sejarah, FKIP UISU Fakultas Sastra Sosial Universitas Darma Agung dan FISIP Universitas Darma Agung di Medan
4. Guru Besar IKIP Medan 1980-1997
5. Guru Besar tidak tetap pada PPs USU sampai dengan 1997
6. Guru Besar Universitas Kristen Jakarta 1997-sekarang

Baiklah dari kami memberikan waktu kepada bapak Prof. DR. Payung Bangun untuk menyampaikan makalahnya.

Prof. DR. Payung Bangun
Sejarahwan

Baiklah ibu-ibu dan bapak-bapak yang saya hormati, sebenarnya apa yang akan saya paparkan di sini adalah paparan ulang. Jadi sebenarnya secara intinya tidak berbeda dengan apa yang telah pernah saya kemukakan dalam pertemuan yang sama dengan ini. Sebenarnya sasarannya juga sama di tahun 2004 lalu yang diselenggarakan oleh Yayasan K.B. Datuk Sunggal di Hotel Tiara pada waktu itu. Hanya memang judulnya berbeda tapi tidak ada perbedaan secara mendasar. Pada judulnya hanya Perang Sunggal Sebuah Analasis Berdasarkan Pendekatan Budaya kalau untuk kali ini menjadi lebih panjang dan inilah yang memang diminta oleh pantia untuk tahun 2006 ini.
Oleh karena itu maka saya hanya akan memulai dengan mengemukakan beberapa pokok-pokok pendapat saya yang sudah saya ungkapkan itu. Yaitu yang pertama; bahwa perang Sunggal itu tidak perlu lagi diperdebatkan yaitu bahwa itu memang perang jadi bukan perang perorangan bukan perang karena ambisi perorangan dan juga bukan perang yang artinya hanya untuk kepentingan suatu golongan. Tetapi adalah ungkapan peran yang dilakukan, didukung oleh rakyat, jadi benar itu adalah perang rakyat.

Yang kedua; perang tentunya memerlukan pemimpin, dan pemimpin itu adalah Datuk Badiuzzaman yaitu Datuk yang memegang kendali pemerintahan. Kepemimpinannya diterima dan dihormati rakyat oleh karena menurut pemahaman saya Datuk itu pada hakekatnya adalah seorang yang dituakan oleh masyarakatnya. Jadi bagi saya Datuk itu lebih merupakan salah seorang dari pemimpin-pemimpin yang ada pada waktu itu.

Yang ketiga; dalam menjalankan perannya Datuk Badiuzzaman menjalin kerjasama yang didasarkan pada hubungan pertemanan dengan saudara-saudaranya yang berasal dari suku bangsa yang sama. Kenyataannya ini kita lihat hubungannya dengan orang-orang kampung dan ada juga yang seideologi dengan orang-orang yang seiman. Inilah yang menyebabkan adanya kerjasama yang erat.

Yang keempat; perang ini bagi saya sebagai yang disebabkan adanya ekspansi, kekuasaan dan teritorial dari penjajah, Belanda. Jadi yang menyangkut golongan lain dari bangsa Indonesia saya kira bukan persoalan yang untuk diperdebatkan. Ada saja yang pro dan kontra dan sebagainya yang terjadi pada kemerdekaan kita pada tahun 1945-1949 yang lalu. Tidak seluruh bangsa Indonesia ini pro Republik ada juga yang tidak jadi tidak perlu dipersoalkan. Dengan catatannya seperti itu maka menurut saya perang Sunggal yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman adalah perang melawan dari bangsa yang merdeka yang berdaulat melawan nafsu, melawan agresi dari kekuasaan yang mau kedaulatan dan yang mau meniadakan bangsa yang sebenarnya pada waktu itu, itulah yang syah.

Itulah yang mendasari sehingga saya mengemukakan bahwa karakteristik dari perang ini memang kalau kita analisis bisa kita katakan ada tiga pihak yaitu Sunggal, Deli dan Belanda. Tapi kalau kita dalami lebih jauh sebenarnya hanya ada dua pihak yaitu pihak Sunggal dan Belanda. Tadi saya kemukakan bahwa ini adalah perang penjajahan, perang yang dilandasi oleh upaya penyerobotan, upaya agresi terhadap kedaulatan yang syah, itulah sebenarnya intinya.

Selanjutnya, pada penyelesaian apa yang tim saya kemukakan maka kalau dikaitkan dengan apa-apa yang saya kemukakan dengan yang sudah saya kemukakan di tahun 2004. Maka ada kesimpulan setidak-tidaknya yang bisa kita ungkap yaitu yang pertama bahwa Datuk Badiuzzaman yang memimpin perang Sunggal dilandasi oleh ideologi nasionalisme. Dalam pengertian memberikan nilai yang tinggi kepada kemerdekaan dan keadulatan yang harus dipertahankan, meskipun dengan tetesan darah dan sekaligus pengorbanan jiwa. Berlakulah ungkapan arif lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup berkalang besi, ini adalah tekad dari Datuk Badiuzzaman.

Yang saya pakai di sini adalah ideologi nasionalisme dan ini memang sengaja saya tonjolkan tentunya pengertian nasionalisme ini tidak sama persis dengan pengertian nasionalisme yang kita pahami bersama sekarang ini. Akan tetapi bagaimanapun kalau kita usut-usut pengertian nation, bangsa itu, masyarakat yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman juga sebenarnya memenuhi persyaratan satu nation, pada waktu itu setidak-tidaknya, kalau sekarang kita katakan suku bangsalah itu.
Kemudian yang kedua; untuk itu budaya damai yang sering kita katakan dan kita terima bahwa budaya damai itu adalah budaya yang kita junjung tinggi. Bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai damai tapi bagaimana bisa budaya damai berubah menjadi perang, orang yang mau berperang. Nah ini yang saya kemukakan pada kesimpulan hari ini untuk tidak budaya damai terlebih dalam hubungan kekerabatan. Karena saya lihat ada hubungan kekerabatan antara Deli dan Sultan dan juga dalam berhubungan dengan orang lain yang digolongkan tamu biasanya damai-damai.

Biasanya tamu sangat dihormati tapi terpaksa ini dikorbankan meskipun Sultan Deli adalah kerabat dan Belanda dapat ditanggapi sebagai tamu. Tetapi demi kemerdekaan dan keutuhan kedaulatan semuanya terpaksa diabaikan jadilah perang itu. Sehingga perang Sultan yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman adalah perang rakyat yang mampu menggerakkan kekuatan rakyat daerah Sunggal dan memperoleh bantuan dari para keluarga yang berada di luar daerah yaitu dari Karo dan Aceh.

Issu menolak invansi perkebunan yang menjadi kasus Deli dan Sunggal dapat pula dikemukakan sebagai issu yang mendasari perlawanan rakyat yang terjadi di Simalungun di bawah pimpinan Sanggar Baru dan Raja Aing. Di Karo yang dipimpin pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja XII dan gerakan tiga O di Tapanuli yang dipimpin oleh Tuan Manulang. Saya lihat ada benar merahnya, saya belum begitu berani untuk mengatakan bahwa apa yang dilakukan Datuk Badiuzzaman itu merupakan sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan, perjuangan-perjuangan yang saya sebutkan tadi. Tapi saya melihat ada benar merahnya, jadi sebenarnya ini adalah suatu gerakan, perjuangan yang memang sesuai dengan keinginan jiwa yang berkembang pada waktu itu.

Perang yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman atau perang Sunggal memang berakhir pada tahun 1895 namun usainya perang bukan berarti perlawanan ikut berakhir. Dengan berbagai cara dan tindakan, rakyat meneruskan perlawanan menentang kolonialisasi, eksvansi perkebunan. Gangguan pada permukiman para kuli dan pembakaran bangsal penggilingan tembakau adalah diantara cara dan tindakan perlawanan selanjutnya. Antara perang yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman dan perlawanan rakyat sesudahnya dapat ditemukan benang merah penghubungnya. Sudah sejak perang pecah terjadi kerjasama dan saling dukung antara Sunggal dan daerah sekitarnya sebagaimana juga dengan pemimpin dan rakyat di Tanah Karo. Kerjasama yang dilandasi oleh semangat atau ideology-ideologi yang sama itu yaitu anti penjajahan dan anti penjualan wilayah tanah air tidak hilang atau padam.
Meskipun perang telah usai tetapi Badiuzzaman dan para pemimpin lainnya dibuang. Benang merahnya sebenanya dapat dilihat sampai ke dalam gerakan Aron yang merupakan gambaran petani di Deli dulu yang bergerak sampai ke tangan tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942. Demikian pokok-pokok yang bisa saya sampaikan ke hadirin yang saya hormati, terima kasih.


Moderator

Terima kasih kepada Prof. DR. Payung Bangun, saya mencatat ada beberapa hal penting dari makalah Prof. DR. Payung Bangun yaitu yang menegaskan bahwa perang Sunggal itu adalah perang rakyat. Kemudian perang rakyat itu jelas-jelas Prof. DR. Payung Bangun pemimpinnya adalah Datuk Badiuzzaman. Dan dalam memimpin perang selalu didasarkan kepada kekerabatan dan perang di pimpin oleh Datuk Badiuzzaman adalah jelas-jelas melawan penjajahan. Itu beberapa hal yang saya garis bawahi mungkin diantara kita banyak hal yang mungkin mau dibantah atau mau ditegaskan lagi pandangan dari Prof. DR. Payung Bangun. Tapi karena kita ini akan melakukan pertanyaan maka pertanyaan dan tanggapan dari bapak, ibu sekalin disimpan dulu dan kita dengarkan dulu pemaparan dari pembicara-pembicara lain.
Untuk pembicara yang kedua ini bapak Anhar Gonggong, lahir pada tangal 14 Agustus 1943, pendidikan sarjana muda, BA tentang sejarah ASEAN dari UGM pada tahun 1967 kemudian menyelesaikan studi S1, Drs dari universitas yang sama pada tahun 1976. kemudian juga mengikuti kuliah orientasi system politik di negara-negara berkembang, Jurusan Ilmu Politik dari Universitas Legan tahun 1980 dan kemudian menyelesaikan/memperoleh gelar Doktor dari UI pada tahun 1990. pekerjaan beliau adalah Guru SMA Negeri di SMA Muhammadiyah Metro Lampung, kemudian PNS dari tahun 1967-2003 dan juga banyak mengajar di berbagai universitas diantaranya: Dosen di Universitas Atmajaya dari tahun 1984-sampai sekarang. Dosen di Lemhanas dari tahun 1986-sampai sekarang dan juga di UI Pascasarjana dari tahun 1991-sampai sekarang.

Baiklah kesempatan selanjutnya kami berikan kepada bapak Anhar Gonggong untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran.

Prof. DR. Anhar Gonggong
Sejarahwan UGM
Assalamu’alaikum wr. wb, salah sejahtera untuk kita semua. Merupakan kehormatan bagi saya untuk berada di sini bersana dengan hadirin untuk membicarakan sesuatu yang sebenarnya memang memerlukan kejernihan pikiran. Karena sering kita salah di dalam memakai sesuatu. Saya berikan contoh saja pidato rekan saya sekretaris daerah tadi Muchyan Tambuse ada salah kaprah dalam mengukit tentang pahlawan itu. Dan itu sebenarnya kata-kata Bung Karno yang semua orang salah di dalam mengulangi kalimatnya. Bukan hanya di sini termasuk di Jogja, di Jakarta dan juga banyak ditulis oleh wartawan-wartawan yang tepat tapi salah, karena salah mengutip ungkapan.

Tadi dikatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya. Seakan-akan itu benar tapi salah yang benar adalah dan kata-kata ini sebenarnya adalah diberikan oleh bung Karno ketika memberikan catatan terhadap Cokroaminoto sebagai pahlawan nasional. Dan kata-kata itu adalah hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar. Kan sudah berbeda maknanya, kalau tadi dikatakan bahwa bangsa besar yang memberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawannya. Kata-kata bung Karno mengatakan secara jelas kita harus menghargai pahlawan itu kalau mau menjadi bangsa yang besar. Itu makna yang dikatakan oleh bung Karno bukan bangsa besarnya dulu yang diceritakan atau dikatakan. Hal-hal seperti ini banyak yang salah juga termasuk di dalam memaknai paparan ini.

Pak Menteri secara sangat bagus, secara terus terang mengatakan kepada kita bahwa sebenarnya bangsa kita ini adalah bangsa yang rapuh dalam proses mempersatukan diri. Bahkan sekarang harus juga diakui coba aja anda lihat Maluku sampai sekarang masih marah, Irian masih marah, Aceh baru saja berhenti dan mudah-mudahan berhenti seterusnya untuk marah. Artinya apa, itu bertanda yang harus diamati betul untuk mencari alat-alat perekat untuk menghadapi kenyataan-kenyataan ke depan. Sebab kalau kita tidak cari ya kita ini dulu tidak bangsa Indonesia, kita ini baru berproses menjadi bangsa Indonesia abad ke 20. Apa yang dilakukan oleh Sultan ini bukan untuk Indonesia tapi untuk melawan ketidak adilan dari penjajahan itu dan itu yang kita hargai.
Jadi ada perbedaan-perbedaan tertentu yang harus kita pahami ketika kita mau memberikan gelar-gelar pahlawan itu dengan makna yang kita berikan dalam prosesi itu. Abad 17-18-19 belum ada Indonesia tapi banyak orang yang melakukan perlawan kepada Belanda dan itu yang kita hargai. Apa yang kita hargai di situ adalah bahwa orang-orang ini adalah orang-orang yang berbuat dan bersedia melampaui dirinya. Sultan ini mungkin sadar kalau dia melakukan perlawanan dia mati, kalah. Dibanding dengan kekuatan Belanda dengan kekuatan dia berapa? Tapi dia harus menjawab tantangan itu, dia harus melakukan perbuatan untuk membela orang lain tanpa harus melihat dirinya. Ini yang kurang sekarang, kita mikirin diri kita semua, kita lupakan orang lain termasuk banyak politik kita yang melakukan hal seperti itu. Dia mementingkan diri dia sendiri, dia teriak-teriak ketika ingin dipilih, rakyat yang dijual setelah terpilih nggak juga mementingkan rakyat.

Nah pemimpin yang akan angkat pahlawan ini adalah orang yang melampui dirinya, orang yang mengatakan mungkin saya berbuat ini untuk kepentingan kalian, mungkin saya mati, itu makna yang mau diberikan dalam kepahlawanan itu. Amir sebagai contoh, tadi saya katakan pak Datuk kita ini mungkin dia sadar kalau melakukan perlawanan pasti kalah. Dia sadar itu tapi dia harus memberikan jawaban terhadap krisis yang dihadapi. Nah nilai kepahlawananya disitu, dia langsung memberikan jawaban. Dia sadar bahwa jawaban itu belum tentu menyelesaikan pada persoalan yang dihadapinya. Tetapi oleh karena tuntutan dirinya sebagai seorang pemimpin tentu harus melakukan itu dan dia mati, di tertangkap.

Contoh lain, kalaulah seorang Bung Karno, kalaulah seorang Hatta dia Ir, yang Drs Ekonomi pertama mau bekerjasama dengan Belanda dapat 500 Goulden pada waktu itu mudah buat dia. Tapi kenapa dia pilih keluar masuk penjara karena dia melampaui dirinya untuk kepentingan orang lain, nilai ini yang harus kita tangkap dari beliau. Inilah salah satu makna dalam proses kita mencari perekat-perekat, mencari pemimpin-pemimpin, mencari nilai-nilai dalam proses menghadapi tantangan kita ke depan dan sekarang. Sehingga kita perlukan yang namanya pahlawan itu dengan nilai. Itu catatan pertama yang ingin saya sampaikan kepada hadirin yang saya hormati dalam acara ini.

Yang kedua, catatan kedua yang ingin saya katakan adalah bahwa ketokohan seseorang, kepemimpinan seseorang adalah sebuah pertanda zaman yang tidak bisa disamai oleh orang lain dalam proses menghadapi tantangan ini. Jadi tidak akan mungkin ada orang yang menyamai seorang Datuk Badiuzzaman ketika dia memberikan jawabannya. Ketika dia bersedia untuk memberikan kesadaran-kesadaran terhadap masyarakat agar supaya masyarakatnya bangkit bersama untuk menghadapi ketidakadilan yang harus dihadapinya. Tidak ada samanya, tidak ada duanya dalam proses bagaimana krisis yang dihadapi. Karena krisis yang dihadapi itu adalah berbeda sehingga ketika memberikan jawaban juga harus menemukan jawaban-jawaban yang menurut dia tepat. Sehingga dia mampu mensosialisasikan jawaban itu sehingga dia mampu memperoleh pengikut sekian banyak orang dan dengan itu secara bersamaan memberikan jawaban itu.

Dan ini juga adalah nilai kepemimpinan yang ada di dalam diri seseorang. Seorang pemimpin bukanlah seorang yang enak ketika aman. Seorang pemimpin justru ditentukan kepemimpinannya disaat krisis, ketika dia mampu memberikan jawaban. Diambil sebagai contoh, banyak anda tahu kehebatan pak Harto bagaimana? Dia cuma seorang Mayor Jenderal yang tidak diperhitungkan oleh orang lain, PKI tidak memperhitungkan dia. Tapi kehebatannya apa, gagasannya adalah ketika dia mengambil sikap dan semua orang ikut. Di tengah-tengah krisis tidak ada orang yang mau mengatakan begitu. Dia mengatakannya dan ketika dia mengatakan PKI yang melakukan ini dengan sebuah tanggung jawab dengan memberikan dukungan. Artinya apa? Pemimpin dengan kepemimpinannya tidak ditentukan disaat aman tetapi ditentukan di saat krisis dengan kemampuan untuk memberikan jawaban, itu yang namanya pemimpin.

Sekarang pemimpinnya pada lari di saat krisis, bukan mencari jawaban terhadap krisis itu. Justru dia lari berlindung di jendela sampai melihat kesempatan untuk melompat dan menjadi pahlawan. Nah bukan pemimpin seperti itu yang kita cari tapi pemimpin yang mampu memberikan keyakinan kepada orang lain. Pemimpin yang mampu memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa dia harus berbuat seperti itu dan orang itu harus ikut padanya. Itu yang namanya pemimpin yang mampu memberikan jawaban terhadap krisis dan aktif di tengah-tengah krisis. Itu catatan kedua yang saya ingin sampaikan kepada hadirin yang amat saya hormati.

Nah catatan ketiga yang ingin saya katakan adalah bahwa di mana letak perlunya, di mana letaknya sehingga orang atau tokoh-tokoh seperti Datuk Badiuzzaman, seperti Cut Nyak Dien dan sebagainya, seperti Imam Bonjol dan sebagainya. Ada hal yang penting di saat-saat mereka melakukan atau mengakhiri perlawanan oleh karena kekalahan dan sebagainya. Dan saya ingin mengatakan bahwa kalau kita mau jujur melihat tetapi dengan catatan saya ingin mengatakan kepada anda saya hanya ingin mengatakan ini bukan berarti saya tidak menghargai dia. Saya hanya ingin memberikan perspektif histories kepada anda semua juga.

Abad ke 17, 18 dan 19 Belanda tidak pernah tidur dan pemberontakan yang satu ke pemberontakan yang lain di berbagai tempat di wilayah yang ketika itu disebut dengan Hindia Belanda. Ada Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, ada Imam Bonjol dsb. Jadi di seluruh wilayah itu adalah wilayah Hindia Belanda terjadi pemberontakan, perlawanan terhadap ketidakadilan yang diberikan oleh Belanda. Jawaban mereka adalah melakukan pemberontakan itu, tetapi anda harus ingat tak satupun diantara mereka yang menang, itu fakta. Di Ponegoro kalah, Sultan Hasanuddin kalah, entah kalah bagaimana, ditipu seperti yang terjadi pada diri Badiuzzaman ini, tertipu dia lalu di bawa dan dibuang.

Tetapi jangan anda anggap bahwa kekalahan tidak memiliki makna tertentu dalam proses tidak hanya dalam bentuk perlawanan itu tetapi ketika akhir dari perlawanan itu. Sebenarnya dia di buang ke Sumedang pak Badiuzzaman di buang ke Cianjur, apa maknanya. Maknanya ialah sejak dahulu wilayah ini antar warga sebenarnya sudah saling kenal dalam bentuk lain, dalam integrasi dalam konteks waktu sekarang. Apa makna makam Cut Nyak Dien, apa makna makam Badiuzzaman di Cianjur sana dalam rangka mengurangi interaksi minimal dalam pikiran kita. Artinya bahwa ada seorang dari Sumatera Utara dibuang ke tempat sana dan dalam konteks sekarang dia mempunyai tempat dalam kerangka Indonesia, walau dia tidak berjuang untuk Indonesia.

Tapi anak-anak, cucu-cucu yang ada di sini mengatakan ada suatu proses kebanggaan bahwa orang-orang Sumatera Utara bahwa dia punya pahlawan di tempatkan di sana dan itu adalah ikatan batin antara warga Indonesia. Itu terjadi pada Imam Bonjol, itu terjadi pada Diponegoro dsb, sehingga dalam pemahaman integrasi keutuhan Republik ini diperlukan makna-makna seperti ini. Dan itu salah satu hal yang penting mengapa kita harus berbicara banyak dalam hal seperti ini dalam proses untuk ke depan dengan melihat kelampauan. Artinya apa menghidupkan kembali makna kelampauan untuk ke kinian dan hari esok kita. Dan kalau kita berbicara tentang kelampauan kita sekarang itu tidak berarti bahwa kita berbicara tentang kelampauan itu saja tapi kita berbicara tentang kelampauan dengan makna kekinian dan keesokan harinya.

Di situ makna daripada proses-proses yang dahulu dia tidak berjuang untuk Indonesia tetapi kita yang memberikan makna itu. Kita yang hidup sekarang ini mengatakan bahwa mereka yang dulu melawan itu adalah orang-orang yang memberikan makna kepada kita agar supaya Republik ini tetap hidup bersama di Era ini yang secara impriotik harus diperjuangkan. Itu makna yang harus kita tangkap dalam pertemuan-pertemuan seperti ini. Saya belajar sejarah bukan untuk belajar masa lampau, apa artinya masa lampau, yang sudah jadi untuk apa musingi kepala untuk mikirin itu.

Kalau sekedar saya melihat faktanya, tapi fakta itu saya berikan interpretasi untuk memberikan sebuah keyakinan tertentu bahwa proses kesejarahanan manusia adalah sebuah kehidupan yang tidak pernah berhenti. Dan oleh karena itu saya hanya bisa mendapatkan makna-makna itu dari kelampauan untuk saya bawa kekinian kita. Nah tiga catatan inilah yang ingin saya sampaikan kepada anda semua. Mudah-mudahan anda mampu menangkapnya dan kita dapat melihat bahwa apa yang kita bicarakan, tokoh yang kita bicarakan ini meninggalkan makna walau beliau sudah hilang lebih dari seratus tahun yang lalu. Terima kasih atas perhatiannya, assaslamu’alaikum wr. wb.

Moderator

Terima kasih kepada bapak Anhar Gonggong, saya melihat dari substansi apa yang disampaikan oleh Anhar Gonggong dia tidak menyinggung secara langsung terhadap Datuk Badiuzzaman tetapi dia menunjukkan kriteria-kriteria dari seorang pahlawan itu bagaimana. Jadi bagi kita nanti, apa yang digambarkan oleh pak Anhar Ginggong ini tadi betul-betul ada pada perjuangan dari Datuk Badiuzzaman, itu yang akan kita perbincangkan nanti. Selanjutnya kepada bapak Prof. Ahmad Samin Siregar, namun sebelum beliau menyampaikan pokok pikirannya, saya bacakan dulu biodata singkat beliau.

Nama lengkap : Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Tempat/
Tanggal Lahir : Batang Tolo, 14 Mei 1945
Pekerjaan : Guru Besar USU, Dosen Fakultas Sastra
Pengalaman : Menjadi pelaksana dan pemakalah dalam seminar Pengusulan Menjadi Pahlawan Nasional atas Nama Kirat Bangun atau lebih dikenal dengan Jaramata, yang kedua Ahmat Tahir, ketiga Datuk Badiuzzaman Surbakti dan yang keempat Maraden Pangabean. Dan sekarang sedang menyiapkan seminar serta pengusulan pahlawan nasional untuk mister Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera masa pada perjuangan di Indonesia. Kedua mau memberikan makalah kerta kerja mengenai masalah seni, budaya dan sastra di berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Afrika Selatan, Brune Darussalam, Madagaskar dan berbagai kota di Indonesia.

Demikian biodata singkat beliau dan kepada bapak Prof. H. Ahmad Samin Siregar kami persilahkan.

Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Sejarahwan USU

Terima kasih moderator, assalamu’alaikum wr. wb. Oleh panitia diminta kepada saya oleh keluarga untuk membicarakan tentang dua hal tentang Datuk Badiuzzaman. Pertama; tentang kecintaannya kepada rakyat dan kedua; tentang kegigihannya dalam perjuangannya. Kalau tadi pak Payung Bangun dan Anhar Gonggong sudah menceritakan apa sebenarnya yang perlu kita perhatikan, apa sebenarnya yang harus kita gali dari perjuangan ini. Dari perjuangan Datuk Badiuzzaman untuk menjadi pahlawan nasional maka pada kesempatan ini kebetulan saya diberikan langsung untuk membicarakan Datuk Badiuzzaman. Jadi tidak lagi berbicara tentang permasalahan dan bagaimana latar belakangnya tetapi kepada saya diminta untuk menyampaikan ini.

Ada dua hal yang diminta kepada saya yaitu pertama; tentang bagaimana kecintaan rakyat terhadap Datuk Badiuzzaman sebagai pemimpin pada masanya. Dan kedua; bagaimana kegigihannya dalam perjuangannya menentang penjajahan Belanda yang dilakukan lebih kurang setengah abad, seperti yang disebut-sebut 1872-1895. Itu makanya dalam makalah ini kami tidak berbicara lagi tentang siapa sebenarnya yang perlu dianggap pahlawan nasional dsb. Tadi sudah disampaikan oleh pak Anhar Gonggong lebih detail, lebih rinci kepada kita tentang hal ini. Dan juga oleh pak Payung Bangun sudah disampaikan mengapa ini menarik perhatian tentang Datuk Badiuzzaman. Itu makanya makalah kami langsung membicarakan kedua hal ini. Walaupun di bagian pengantar kami sudah singgung juga tentang beberapa hal yang berhubungan dengan perjuangannya selama hayatnya. Yang di dalam hal ini beliau mendapat Datuk Badiuzzaman Sri Indah pahlawan Surbakti. Datuk agak berbeda sedikit dengan Datuk Melayu untuk dapat diperbincangkan dalam hal yang lain.

Dalam masa beliau terkenal dengan sebutan Perang Sunggal tapi pada kesempatan ini kita tidak bicara tentan Perang Sunggal. Tapi kita pada kesempatan kali ini membicarakan tentang ketokohan tentang seorang yang bernama Datuk Badiuzzaman Surbakti ini di dalam memimpin rakyatnya sehingga timbul kecintaan rakyatnya kepadanya dan bagaimana dia berjuang. Kegigihannya berjuang menentang penjajahan Belanda.

Kalau kita perhatikan kecintaan rakyat kepada Datuk Badiuzzaman maka kami memberikan 4 butir yang barangkali perlu kita perhatikan dan perlu amati secara lebih mendalam. Beliau memerintah hanya memerintah 29 tahun dari tahun 1866-1895 jadi tidak terlalu lama sebenarnya tapi juga tidak terlalu singkat. Selama 29 tahun beliau memerintah di Sunggal maka beliau sangat dicintai oleh rakyatnya dan banyak bukti-bukti yang menunjukkan kecintaan rakyat kepada beliau. Karena salah satu kecintaan itu muncul karena beliau tidak tahan dengan rakyatnya mendapat tekanan dari Belanda ketika itu karena mau menguasai tanah yang ada di Sunggal untuk dijadikan perkebunan.

Di dalam makalah kami kami sebutkan bahwa beliau itu pro kepada rakyatnya karena memang beliau membela rakyatnya sehingga rakyat di Sunggal menimbulkan perlawanan yang terkenal dengan Perang Sunggal. Namun karena kita tidak membicarakan tentang Perang Sunggal di sini kita lebih banyak membicarakan tentang tokoh dan ketokohan Datuk Badiuzzaman Surbakti. Kecintaan rakyat Sunggal jelas kita lihat ketika rakyat ikut mendukung semua perjuangan apa yang disampaikan oleh Datuk Badiuzzaman. Ketika tanah itu mau dikuasai maka terjadilah peperangan dan peperangan ini berkepanjangan. Salah satu perang yang cukup panjang adalah Perang Sunggal ini di dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Walaupun jauh sebelum ada negara Republik Indonesia ini.

Kemudian yang kedua; kerjasamanya dengan mati-matian mempertahankan tumpah darahnya ini yang ingin menguasai tanah kelahirannya daerah Sunggal untuk dijadikan perkebunan tembakau. Itu memperlihatkan kepada kita bahwa beliau bukan mempertahankan kepentingan ribadi tetapi mempertahankan kepentingan rakyat. Dalam mempertahankan hak dirinya dan hak rakyatnya tadi tentu memerlukan pengorbanan. Ini semua muncul seperti yang saya katakan tadi masalah yang pertama tadi juga bersangkutan dengan yang ini. Adalah kecintaannya kepada rakyat sehingga timbul rasa persatuan dan kesatuan. Di dalam perjuangannya dia tidak pernah terlepas dari rakyatnya. Dengan kata lain bukan mempertahankan tanah hak wilayahnya dia tapi adalah mempertahankan tanah air dan kepentingan rakyat yang ada di Sunggal. Itu sebenarnya latar belakang yang kami lihat dan diperjuangkan oleh Datuk Badiuzzaman.

Kemudian yang ketiga; ketika masih muda beliau sudah memberikan keteladanan dan pemimpin yang selalu memperhatikan rakyatnya. Kuat dalam ilmu agama, sangat dekat dengan rakyatnya oleh karena itu dia sangat disayangi oleh saudara-saudaranya bahkan juga disayangi oleh rakyatnya. Ketika dia mengatakan bahwa ini harus kita lawan apa yang dilakukan Belanda ketika itu. Dan mungkin makalah kami juga dikatakan bahwa tanah itu sebenarnya diberikan oleh Sultan Deli kepada Belanda. Maka dia singkirkan kepentingan pribadi, dia lihat kepentingan rakyatnya. Untung ketika berjuang dia banyak mendapat bantuan dari berbagai suku yang ada di sekitarnya. Dia berasal dari suku Karo tentunya terlibat dalam perang ini bahkan bukan hanya orang Karo juga orang Melayu, orang Gayo, Alas Gayo, Aceh dan Jawa. Jawa itu merupakan ekstern Belanda ketika itu yang menjadi tentara dari pasukan Datuk Badiuzzaman.

Jadi kalau kita lihat masalah Sunggal ketika itu masalah yang sepele saja, kecil saja di daerah Sunggal itu tetapi sudah meluas ke daerah lain. Karena waktu itu dari Aceh langsung dikirim seorang Panglima untuk membantu perjuangan Datuk Badiuzzaman. Jadi ini suatu lintas daerah sebenarnya perjuangan yang dilakukan oleh Datuk Badiuzzaman ketika itu. Hal inilah yang membuat seperti apa yang saya katakan adanya kesatuan dan persatuan, adanya rasa nasionalisme tidak hanya di lingkungan daerah Sunggal saja tapi sudah meluas ke daerah lain. Dan ini terjadi dalam catatan sejarah kita lihat nanti ada pertempuran-pertempuran tetapi tentu tidak kita bicarakan dalam kesempatan ini. Karena saya ingin berbicara bagaimana kegigihannya, bagaimana cinta rakyat kepada Datuk Badiuzzaman.

Kemudian yang keempat; Datuk Badiuzzaman ini sangat dekat dengan rakyatnya sehingga mampu mengajak rakyatnya untuk berjuang melawan penjajahan. Mereka membakar bangsal tembakau yang ada di Sunggal karena waktu itu seperti dikatakan tadi bahwa sebenarnya dia ini tidak mempunyai kekuatan yang besar dibandingkan dengan tentera Belanda ketika itu yang mempunyai perlengkapan militer yang besar. Tetapi dengan semangat juangnya dia membawa rakyatnya dengan mengadakan politik bumi hangus. Bahwa apa hasil-hasil Belanda yang akan mendatangkan uang untuk memerangi mereka. Itu yang harus dimusnahkan dahulu maka terjadilah pembakaran-pembakaran bangsal ketika itu yang dilaksanakan oleh pasukan Datuk Badiuzzaman. Akibatnya orang Belanda menjadi panik, ketakutan karena merasa keselamatan mereka tidak terjamin lagi. Gerakan ini meluas dan terjadi secara serentak di berbagai tempat di sekitar Sunggal ketika itu. Sehingga Belanda mengalmai kesulitan untuk memadamkan pemberontakan ini.

Dalam sejarah Perang Sunggal beberapa ekspedisi militer sempat dikerahkan ketika itu untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami oleh penjajah Belanda ketika itu. Itulah empat hal yang membuat dan dapat saya simpulkan mengapa rakyat mau membela mati-matian Datuk Badiuzzaman. Dengan kata lain bahwa perjuangan Datuk Badiuzzaman bukanlah perjuangan pribadi tetapi perjuangan didukung sepenuhnya oleh rakyat Sunggal bahkan beberapa daerah-daerah disekitarnya. Bahkan di Aceh ikut mendukung perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Atau katakanlah perjuangan untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan terhadap pengambil alihan wilayah yang ada pada kerajaan atau wilayah Sunggal ini menjadi perkebunan.

Kemudian dalam kegigihan Datuk Badiuzzaman bukan saya bicara tentang 2 hal ini saja yang kebetulan diberikan maka ada 4 catatan saya. Pertama; Belanda sudah bertekad kalaupun tidak dapat secara damai ini harus diambil secara paksa. Hal ini sudah di dengar oleh Datuk Badiuzzaman ketika itu maka ditimbulkannya para pemimpin, para pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah tanah ketika itu. Ada tiga, pertama; rakyat Sunggal, kedua; Namung Surbakti, Komanda pasukan Karo yang ada di daerah pegunungan, kemudian yang ketiga; Tuanku Hasyim dari Aceh. Untuk membicarakan bagaimana nanti kalau Belanda mengambil paksa tanah kita di sini untuk dijadikan perkebunan. Nah rapat itu memutuskan tidak mau seperti yang saya sebutkan dalam makalah saya pada halaman 5 itu.

Ada tiga yang bersatu ketika itu, ini barangkali suatu hal yang juga menunjukkan bagaimana kepemimpinan Datuk Badiuzzaman ketika itu. Tiga daerah yang bersatu itu adalah Sunggal, Karo dan Aceh, mereka sepakat dalam tiga hal. Pertama; membina persatuan dan kesatuan serta perselisihan dengan Belanda dengan politik adu domba (politik pecah belah). Itu harus dilenyapkan jangan timbul perpecahan antara orang Karo, masyarakat Sunggal yang waktu itu juga pemimpimnya Surbakti dari Karo dan kemudian dengan Aceh.

Kemudian yang kedua; menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah untuk kepentingan masyarakat masing-masing wilayah. Jadi mereka ini sudah bertekad sejangkal tanah dan setiap daerah harus dipertahankan mati-matian, tiga wilayah ini Sunggal, Karo dan Aceh. Kemudian yang ketiga; Sunggal, Karo dan Aceh sepakat agar secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang mencoba menguasai dan menjajah daerah masing-masing wilayah tersebut. Jadi ketika itu sudah mulai terasa bahwa akan ada yang mencoba menjajah, akan ada yang mencoba mengambil alih wilayah mereka. Maka mereka bertiga, pemimpin wilayah ini yang tadi saya sebutkan Datuk Badiuzzaman dan beberapa teman laskar serta penasehatnya Datuk Muhammad Jalil dan Datuk Muhammad bin Surbakti. Bersama dengan mewakili masyarakat Karo pada waktu itu berprinsip dalam tiga hal ini tadi yaitu mengenai Sunggal, Karo dan Aceh. Keputusan ini membuat kerjasama diantara ketiga wilayah ini dalam menghadapi penjajahan Belanda.

Di sinilah salah satu jasa besar dari Datuk Badiuzzaman. Ketika orang belum lagi ada antar daerah membicarakan masalah ini yang mempertahankan dan memperjuangkan aerahnya dari masalah-masalah yang berhubungan dengan penjajahan ini. Beliau Datuk Badiuzzaman sudah mencoba menghimpun supaya tidak terjadi hal-hal seperti itu tadi. Itu yang pertama, yang kedua; kegigihan Datuk Badiuzzaman juga nampak banyak bersama rakyatnya menentang penjajahan Belanda dengan mengangkat senjata untuk berperang. Beliau dibantu oleh dua orang adiknya pertama Datuk Alam Muhammad Bahar Surbakti dan kedua oleh pamannya Datuk Abdul Jalil dan Datuk Muhammad Bin dan Datuk Surung Mahar. Perjuangan mereka ini bukan perjuangan hanya masyarakat dari daerah Sunggal saja tetapi didukung oleh masyarakat Karo dan masyarakat Aceh.

Kerjasama ini membuat perlawanan rakyat Sunggal dengan kepemimpinan Datuk Badiuzzaman amat sukar untuk bisa dipadamkan oleh pihak Belanda. Oleh karena itu berkepanjangan hampir 25 tahun dalam sejarah perjuangan bangsa. Jadi kalau dikatakan tadi bahwa ada latar belakang mengapa terjadi perang ini. Di berbagai daerah juga lihat ada latar belakang mengapa terjadi, umumnya karena ingin menentang pengambil alihan daerah, penguasaan daerah yang dilakukan oleh penjajahan Belanda. Dan kemudian yang ketiga; Datuk Badiuzzaman gigih sekali memerangi penjajahan Belanda sehingga memperoleh hasil yang sangat menggembirakan. 17 Maret 1872 pasukan Sunggal berhasil menewaskan serdadu Belanda, korban-korbannya bisa kita lihat. Bagaimana beberapa orang tentara Belanda bahkan seorang Letnan yang pada waktu itu pangkat Letnan sudah dianggap pangkat tinggi yang cukup menentukan di dalam suatu pasukan itu tewas dalam beberapa serangan-serangan oleh pasukan yang dipimpin Datuk Badiuzzaman dengan para panglimannya itu.

Kemudian yang keempat; kegigihan Datuk Badiuzzaman berjuang menentang penjajahan Belanda sampai-sampai memerlukan waktu yang cukup panjang dan cukup lama. Tapi saya katakan lebih kurang 23 tahun ¼ abad, perjuangan ini bukan perjuangan yang pendek tetapi cukup panjang dan melelahkan. Itubukan terakhir seperti yang sudah disinggung tadi dia tidak menyerah begitu saja tetapi sejenis kena tipu oleh Belanda. Makanya selalu kita dengar orang sekarang mengatakan ‘jangan contoh-contoh itu Belanda’ karena tipu Belanda ini adalah tipu yang paling banyak mencelakakan perjuangan bangsa Indonesia.

Jadi dia memerlukan waktu yang panjang, dalam waktu yang panjang itulah beliau berjuang sehingga banyak hal-hal yang membuat Belanda mengalami kerugian yang besar. Kemudian yang terakhir adalah tentang non komprominya, sikap tidak mau bekerjasama dengan penjajah Belanda bahkan dengan Kesultanan Deli, karena ada keinginan untuk menguasai tanah ini. Non kompromi tidak mau bekerjasama atau non koparatif, 32 tahun dia melakukan pemerintahan tapi selama itu dia tidak pernah mau bekerjasama dengan Belanda sampai dia dibuang ke Cianjur, Jawa Barat oleh penjajah Belanda, ini sudah tentu pasti dijadikan contoh teladan.

Inilah yang menjadi gambaran dari kepemimpinan, kegigihan Datuk Badiuzzaman menentang penjajahan Belanda. Dari apa yang saya uraiakan tadi barangkali saya ingin membacakan sedikit kesimpulan saya dari apa yang sudah saya tulis di makalah itu. Datuk Badiuzzaman adalah seorang putra terbaik dari tanah Sunggal dan seorang pejuang gigih, ulet dan pantang menyerah. Oleh karena itu Datuk Badiuzzaman pantas menjadi contoh teladan dan dapat dijadikan pula sebagai panutan di dalam menjunjung tinggi rasa cinta tanah air. Dengan begitu Datuk Badiuzzaman sekarang ini bukan hanya milik masyarakat Melayu di Sumatera Utara tetapi sudah menjadi milik masyarakat bangsa Indonesia.

Jadi sepantasnyalah Datuk Badiuzzaman dapat diangkat menjadi pahlawan nasional. Usaha ini kiranya perlu dilakukan dengan terencana dan terarah serta dengan sepenuh hati, pikiran dan tenaga sampai tujuan yang dimaksud ini tercapai. Semuanya ini tentu berpulang kembali kepada setiap warga Indonesia yang cinta akan pahlawannya. Seperti kata pepatah ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya’. Lagi pula dalam kesempatan kali ini sangat pantas dan sangat perlu direnung dan diingat lalu dihayati tentang pesan-pesan yang disampaikan oleh Datuk Abdullah Ahmad Sri Indra Pahlawan Surbakti ‘Urung gelapkan Sunggal sampai nyaman’ kepada cucu anaknya Datuk Abdullah Ahmad Sri Indra Pahlawan Surbakti dan Datuk Alam Muhammad Sri Pahlawan Surbakti yang berbunyi sebagai berikut: ‘taukah engkau sifat pahlawan bila ia bersungut maka ia bersungut damai bilai ia memadang maka ia bermata kucing, bilai ia memegang maka ia bertangan besi bila ia berarif setia ia tiada bertukar, bila ia berjuang pantang surut ia biar selangkah, bila ia menjumpai mau mati dia tetap akan mencintainya’.

Sifat kepahlawan yang disampaikan oleh orang tuanya itu yang sangat sakral, terpuji dan terhormat. Itu pulalah yang menjadi pegangan tetap serta menjadi sikap dan tingkah laku Datuk Badiuzzaman Surbakti ketika memimpin wilayah Sunggal. Inilah isi makalah saya yang saya sampaikan kalau tadi saya mengutip ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bangsa pahlawannya’ itu bukan dari kata-kata Bung Karno. Tapi itu adalah ungkapan yang muncul di tengah masyarakat, kalau tadi kata Bung Karno yang salah yang diberikan oleh pak Anhar Gonggong. Kritik kesalahan ini, tapi saya tidak mengambil dari Bung Karno tetapi saya mengambil ungkapan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bangsa pahlawannya’. Terima kasih.

Moderator

Terima kasih pak Ahmad Samin, demikian kita sudah mendengarkan maka dari dua yang telah menjelaskan banyak tentang Datuk Badiuzzaman. Sebenarnya penilaian dari mereka bertiga maka SK tentang kepahlawanan Datuk Badiuzzaman sudah gol. Tapi kalau kita tanya tentu masih banyak berharap masukan juga karena dari pak Bahtiar Chamsah katanya kalau perjuangan itu tidak terputus kalau sempat terputus maka tidak layak untuk diberikan. Mungkin ada catatan-catatan pula dari daerah Jawa yang melihat ada terputus perjuangan ini, mungkin bisa kita ungkapkan di sini. Tetapi karena jam kita sudah sampai menjelang satu kurang lima menit lagi maka kita makan siang dulu dan setelah makan siang baru kita akan bertanya jawab. Saya kira akan kita skor acara ini, selamat makan siang dan sholat, assalamu’alaikum wr. wb.

MC
Ibrahim Nainggolan

Kepada bapak dan ibu untuk melaksanakan sholat dan makan, kita melaksanakan ishoma sekitar 30 menit setelah itu kita kembali untuk melanjutkan. Kepada bapak-bapak dan ibu-ibu kami persilahkan.

Tanya jawab

Moderator
Pertama yang sebelah kiri dan yang kedua sebelah kanan dan yang ketiga di tengah. Jadi yang pertama kami persilahkan kepada bapak yang sebelah kiri.

Indra Afgan
Fakultas Sastra Jurusan Sejarah USU

Assalamu’alaikum wr. Wb. Terima kasih kepada bapak moderator, ada dua pertanyaan yang akan saya tujukan kepada bapak narasumber. Pertanyaan yang pertama adalah kapankah Datuk Badiuzzaman itu lahir dari makalah yang saya dapat ini tidak saya temukan Cuma ada sebuah gambaran bahwa masa pemerintahan Datuk Badiuzzaman tahun 1866. Pertanyaan apakah tahun 1866 itu Datuk.. lahir atau masa pemerintahannya. Dan selanjutnya pada tahun 1872 mulai Perang Sunggal kalau tahun 1872 dimulai Perang Sunggal maka usia Datuuk Badiuzzaman adalah 6 tahun. Lalu dari data yang saya dapat lagi pada tahun 1871 Datuk .. memimpin rapat rahasia. Apakah dalam usia 5 tahun mampu memimpin rapa. Ini dari segi histories, mungkin narasumber bisa menjawab. Seperti pada sebuah lagu ‘jangan ada dusta diantara kita’.

Pertanyaan yang kedua; ini mungkin khusus saya tujukan kepada Anhar Gonggong, guru saya. Secara filosofis memang seorang pahlawan itu selalu berjuang melampaui dirinya. Ini sangat filosofis, seorang petugas pemadam kebakaranpun dia bertugas melampaui dirinya. Kalau keluarlah SK menjadi pahlawan nasional apakah nanti bisa kalau tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi keracuan, bisakah dialunir soal pahlawan itu, terima kasih.

Moderator

Terima kasih kepada pak Indra, selanjutnya kepada bapak ketua kami Tampak Sebayang, kami persilahkan.

Tampak Sebayang

Saya bukan langsung menghidmatkan diri dalam tanya jawab tetapi saya ingin mewarni apakah pertanyaan nanti atau bagaimana terserah kepada moderator, yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan sejarah yang dipaparkan oleh makalah dari ketiganya, menurut saya ada tiga; Kegiatan atau pertempuran oleh Datuk Badiuzzaman di lapangan yaitu konvensional, kedua; perang politik, keiga; perang gerilya, begitulah saya mewarnai percakapan dari tiga pemakalah itu. Jadi saya merasakan baik dalam konvensional maupun juga dalam gerilya maupun juga dalam perjuangan politik. Benar-benar gencar, di lapangan manakah oleh bapak betiga bisa mengatakan, kalau tidak bisa mengatakan katakan ada saja sudah cukup. Karena itu adalah kunci kehebatan dari perjuangan itu, jadi gambaran perjuangan politik yang gencar dalam diplomasi dengan Belanda.

Kedua; pertempuran dengan Belanda atau dengan siapa yang berseberangan dengan Datuk Badiuzzaman dan yang ketiga gerilya, sudah berapa bangsal yang sudah dibakari oleh datuk dan anak buahnya sekalian yang dikatakan oleh pak Samin ada tiga kekuatan Karo dan Melayu. Berapa juta hektarkah klaim tanah itu, nah dari pertanyaan saya ini menggencarkan sejarah itu?

Moderator
Terima kasih pak Tampak Sebayang, mungkin ini sasaran terus langsung ke bapak Samin, selanjutnya yang ketiga bapak yang ditengah tadi.

Drs. H. M. TWH
Ketua Umum Yayasan Pers Sumut
Assalamu’alaikum wr. Wb, kami telah mencermati dan menyimak makalah ketiga pemakalah tadi. Bahwa apa yang dikemukakan oleh pak Payung Bangun bahwa perjuagan dengan melakukan sabotase yang dipimpin datuk memang betul kenyataannya ada. Tetapi apa yang dilakukan di tahun 18.. juga terjadi di tahun 1949, para pejuang dengan teman kita pak Payung Bangun di daerah Langkat dan Deli Serdang ada 38 bangsal yang dibakar sehingga Belanda kalang kabut. Kemudian apa yang diberikan oleh bapak Anhar Gonggong memang cukup memberi arti bagi sebagian pahlawan.

Kemudian apa yang diuraikan oleh pak Samin bahwa adanya perjuangan antar daerah, memang benar karena dalam masa Perang Sunggal banyak berjuang di daerah Sunggal. Malah pada satu saat dalam tahun 1865-1866 barangkali pernah direbut daerah Bahorok dan di daerah Bohorok di cari oleh surat kabar pertama yang terbit di Medan yaitu Deli Koran disiarkan bahwa bendera Aceh ditarik di Bahorok yaitu bendera Merah Putih. Dalam kaitan ini kami ingin bertanya kepada bapak Anhar Gonggong kami ingin mendapat ilustrasi mengenai sejarah dari Merah Putih. Karena menurut Haji Muhammad Said, masa Belanda pun tahun 1886 bendera Merah Putih telah dikibarkan di Sumatera Utara ini.

Yang kedua; kepada panitia, kita ingin membicarakan mengenai Datuk Badiuzzaman tetapi kami tidak melihat bagaimana wajah atau bentuk dari calon pahlawan yang ingin kita ajukan. Untuk itu kami ingin sarankan kalau sudah ada foto-fotonya supaya dipaparkan dan kemudian diperbanyak. Kalau sekiranya foto ini diperoleh di negeri Belanda, sudah bagus sekali karena pahlawan nasional Sisingamangaraja pun sebenarnya tidak ada fotonya tetapi oleh Asbani dilukis mirip dengan pahlawan Sisingamangajara demikian juga dengan Guru Patimpus. Demikianlah pertanyaan dari saya dan mohon penjelasan, terima kasih, assalamu’alaikum.

Moderator

Ini sudah ada tiga penanya dan mungkin nanti pertanyaan yang pertama ini, kalau seandainya para narasumber ini punya kesulitan terutama menentukan tahun lahir. Karena memang dulu lahirnya dihubungkan dengan tanda-tanda, lahir pada waktu gunung meletus dan macam-macam. Jadi untuk itu mungkin ada di sini keturunan yang paling dekat dengan Datuk Badiuzzaman kami juga akan meminta penjelasan dari beliau. Tapi untuk sementara ini kami serahkan dulu kepada narasumber dan kelihatan dari pertanyaan yang pertama, kedua dan ketiga ini pada umumnya mengarahkan kepada pak Ahmad Samin dan pak Payung Bangun, kami persilahkan dulu pak Payung Bangun untuk memberikan jawaban/penjelasannya, silahkan pak.

Payung Bangun

Kalau masalah lahir saya juga kurang tahu, tapi nanti kalau ada naskah atau sumber yang mengatakan 1866 kemudian tahun 1872 sudah mulai memimpin perjuangan. Rasa-rasanya tidak masuk akal tapi mungkin tahunnya 1866 ini yang perlu didalami lagi. Kebetulan di sini ada pak Anhar. Di sejarah kuno yang lama-lama juga ada yang begitu, di tahun 1222 yang seharusnya 12 tahun sehingga si anak pun bisa membalas dendam atas kematian anaknya. Jadi ada dua sumber yang mengatakan tahun yang berbeda bahkan kalau ada sumber yang seperti itu lebih baik kita mencari logikanya saja, makna sebenarnya sudah mungkin melakukan ini. Mungkin dari pak Indra tadi dari umurnya 12 tahun dan saya lihat foto copynya memang usianya masih muda. Juga barangkali kalau dikatakan umur 12 tahun, apa mungkin. Kita jangan lupa bahwa struktur pada waktu itu bahwa setiap yang memegang kedaulatan/kekuasaan itu selalu dikelilingi oleh panasehat-penasehat.
Ini belum kata putus, karena betul yang dikatakan oleh moderator tadi bagaimana pun yang tau persis itu, yang bisa dipercayai adalah klarifikasi dari pihak keluarga. Kemudian abang saya ini, terima kasih dibagi lagi soal perang menjadi tiga, saya tidak kepikiran sampai kesitu, memang ada kelebihan dari orang yang lebih senior. Saya sebenarnya ingin mengemukakan terutama sekali dari segi politik dari apa yang dilakukan oleh datuk. Maka itu saya bicara tentang kedaulatan dan harga diri. Jadi bagi saya seorang yang memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan itulah. Kalau hitung-hitungan, tadi betul itu, tapi terima kasih kepada bapak Drs. H. M. TWH, katanya 38 bangsal, jadi masukan bagi kita. Saya kira itu dulu, terima kasih.

Moderator

Ya baik, silahkan langsung saja ke Bapak Anhar Gonggong


Anhar Gonggong

Saya barusan mendapatkan informasi bahwa beliau lahir pada tahun 1845, ketika dia lahir pada waktu itu ketika menjadi raja sudah 21 tahun, dia punya penasehat jadi sudah bisa memimpin rapat. Tapi kalau 6 tahun pasti nggak, tapi kalau 12 tahun itukan dikelilingi oleh, saya tidak tau apakah di sini sistem kerajaannya ada sistem perwalian. Jadi sebelum diangkat dia tetap diangkat menjadi raja tapi pelaksananya adalah sejumlah orang yang sudah dewasa yang dianggap sebagai perwalian. Tapi kalau dia sudah berumur 21 tahun saya yakin dia mempunyai kemampuan tertentu untuk menjadi pemimpin.

Jadi kepada panitia yang akan merumuskan ini dan disampaikan ke Departemen Sosial, tolong hari kelahiran ini jelas untuk memperlihatkan. Memberikan kita data yang bisa dipercaya bahwa dia memimpin di dalam usia yang memang pantas untuk menjadi pemimpin, itu sumbangan yang diberikan oleh penanya. Tetapi apakah bisa dianulir secara teoritis, bisa aja ditinjau kembali. Tapi sepanjang yang saya ingat belum pernah dan saya sendiri terus terang sepanjang saya berada di Departemen Pendidikan paling tidak saya pernah menerima 4 surat yang mempertanyakan mengapa si A, si B, si C dan si D jadi pahlawan nasional padahal dia sudah punya SK. Maka dia menujukkan beberapa data bahwa orang ini tidak pantas jadi pahlawan nasional, tapi saya diamkan saja. Itu sebabnya mengapa kita harus sangat hati-hati berdasarkan aturan yang ada untuk sebelum Presiden menandatanganinya. Dai jadi pahlawan itu betul-betul bisa dipercaya semua prosesnya, dari proses awal sampai yang terakhir.

Ada contoh, biasanya nama yang diajukan oleh Panitia Pahlawan Pusat kepada Presiden pasti diterima. Tetapi ada kasus terjadi, Presiden Megawati meminta agar supaya Trunajoyo ditinjau jadi tidak langsung diterima. Kalau biasanya langsung, kalau kita mengajukan 7 atau 8 orang biasanya Presiden setuju. Setelah kita bicarakan lagi memang terdapat dokumen-dokumen yang paling sedikit panitia bisa mengambil kesimpulan bahwa minimal kita bisa katakan untuk saat ini tentang Trunajoyo masih perlu dilakukan penelitian ulang untuk kemudian kalau bisa diajukan, tapi kalau memang tidak bisa ya tidak bisa. Ketika kita belajar sejarah tentang Pangeran Trunajoyo selalu ada di buku sejarah kehebatannya melawan Sultannya tapi ternyata tidak bisa langsung. Oleh karena Presiden sendiri dan saya kira patut dihargai juga bahwa Presiden tidak langsung menerima dan percaya dari Panitia.

Jadi jangan bapak menyangka bahwa setelah dari kita langsung selesai tidak, karena dari Depsos dan Panitia hasil Depsos ini dikirim ke Presiden dan Presiden punya Dewan Tanda-tanda Kehormatan lagi. Jadi nanti yang akan menentukan apakah Presiden akan tanda tangan atau tidak terserah Presiden. Tapi kemarin, 2 tahun yang lalu adalah Trunajoyo tidak langsun ditanda tangani oleh Presiden, saya kira kasus pertama. Dan saya senang kita harus hati-hati betul karena bapak bisa bayangkan kalau nanti jadi pahlawan ada orang Belanda yang menulis dengan fakta yang ada. Oh itu penghianat, konotasi kita bahwa dia pernah bekerjasama dengan Belanda padahal sudah ditanda tangani SK nya.

Saya ambil contoh ketika itu saya masih di Depdikbud kebetulan saya meniliti seorang tokoh besar yang sepanjang hidupnya adalah pejuang. Tapi ada cacat pada tahun 1946, dia berjuang sejak zaman pergerakan nasional, tokoh lagi, tiba-tiba pada tahun 1946 tokoh ini saya temukan dokumennya dan arsip yang ditulis oleh Belanda ketahuan kalau orang itu pernah bekerjasama dengan Belanda. Saya tulislah dan tidak jadi pahlawan kan, lalu suatu ketika oleh seorang atasan saya, saya dipanggil. Saudara Anhar bisa tidak saudara menghilangkan satu hal ini, yang menyuruh katanya Sekjen Depertemen Pendidikan ketika itu dan Sekjen ini juga diminta oleh orang yang lebih di atas lagi, jadi bertingkat permintaan.

Karena saya menulis maka tentu saja mereka tidak bisa potong begitu saja lalu mereka bilang pada saya. Saudara Anhar bisa nggak itu dihilangkan sampai dua kali dia datang, jawaban saya sederhana, saya bilang tolong kirim surat ke Rektor UGM untuk menarik gelar Drs Sejarah saya baru anda bisa potong itu. Kalau tidak jangan karena nanti Drs Sejarah yang saya peroleh dari Gajah Mada itu memalukan Gajah Mada bukan saya yang malu tapi Gajah Mada yang malu. Jadi cabut dulu Drs saya dari Gajah Mada itu baru bisa dipotong. Akhirnya sampai sekarang orang itu nggak pernah datang dan sampai sekarang tokoh itu tidak menjadi pahlawan.

Saya sudah dua kali minta kepada pak Menteri agar saya tidak usah ikut lagi, pusing apalagi kalau yang dicalonkan itu keluarga teman, keluarga saya sendiri apalagi kalau di Sulawesi Selatan itu rata-rata keluarga saya. Makanya saya sengaja nggak datang di undang oleh pak Mansyur kalau berbicara tentang keluarga saya. Jadi sangat susah, karena faktor perasaan, ada orang datang ke kita segala macam, ada teman akrab yang nelpon berkal-kali dan itu tidak mudah. Apalagi dalam zaman reformasi sekarang, salah mengambil keputusan bukan saja ditertawai, digebuki. Zaman sekarang orang pinter gebuk kalau dulu paling-paling dimaki-maki, sekarang ini digebuki atas nama demokrasi.

Hal-hal seperti ini sekedar informasi bagi bapak-bapak semua saya harapkan supaya kalau ingin mengajukan tokoh harus betul-betul bisa dipercaya, tulisan-tulisan, sumber-sumbernya yang bisa dipercaya untuk meyakinkan. Karena panitia juga berdebat, berkelahi dalam tand kutip antar anggota panitia untuk menentukan baru ketuanya ngomong anda setuju atau tidak. tapi sebelumnya berdasarkan sumber berkelahi juga dalam tanda petik, jadi sangat tidak mudah. Oleh karena itu nanti saran saya kalau mau diajukan tolong dikumpulkan data-data yang sebanyak-banyaknya dengan catatan, sumber itu adalah sumber yang dapat dipercaya untuk mengatakan ini pantas atau tidak pantas. Hasil seminar ini oke, tapi setelah itu panitia pengusul juga harus mencari arsip-arsip yang bisa dipercaya dan arsip-arsip itu dicek oleh kita. Sumber yang anda berikan kepada kita dicek ulang lagi ke arsip bahkan mungkin kita bisa kirim surat ke arsip Belanda untuk mendapat akurasi terhadap tokoh ini.

Saya kira hanya itu yang bisa saya jawab tentang hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh yang terhomat oleh pak Tampak Sebayang. Saya kira teman-teman di sini lebih tau dari saya jadi saya tidak berhak untuk menjawab.
Moderator

Terima kasih pak Anhar selanjutnya pak Samin Siregar.


Ahmad Samin Siregar

Terima kasih, jadi menurut catatan panitia dan tim yang sudah melacak ini dan gambar ada ini, jadi kalau nampaknya anak-anak, memang masih muda. Nanti saya coba menerangkan sedikit bagaimana silsilahnya, apa yang udah disusun oleh panitia. Di makalah saya disebut-sebut nama Datuk Abdul Ahmad Sri Indah Pahlawan Surbakti Raja dan memberikan nasehat. Nasehat itu diberikan kepada dua orang anaknya pertama Datuk Badiuzzaman Sri Indah Pahlawan yang kita angkat pahlawan sekarang, yang kedua Datuk Alam Muhammad Bahar Sri Indah Pahlawan, jadi mereka adik kakak.

Datuk Abdullah Ahmad Surbakti Sri Indah Pahlawan ini adalah anak dari Datuk Ahmad Laut Surbakti. Datuk Ahmad Laut Surbakti ini memerintah ini memerintah 1821-1845, dia punya dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tiga orang anak laki-laki itu adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, kemudian yang kedua Datuk Abdul Jalil Surbaki dan yang ketiga Datuk Muhammad Dini Kecil Surbakti. Kenapa perlu kami sampaikan, karena usia Datuk Badiuzzaman masih belum bisa menjadi raja karena berusia 12 tahun. Karena dia lahir tahun 1845 maka pada tahun 1757 pamannya itu yang diangkat menjadi raja namanya Datuk Muhammad Din. Jadi silsilahnya itu harus kita ketahui baru kita tau maka terjadi ini.

Kenapa diangkat? Karena waktu itu masih berumur 12 tahun Datuk Badiuzzaman, jadi Datuk Muhammad Dini atau Datuk Muhammad kecil Surbakti memerintah pada kerajaan Sunggal ini pada tahun 1857 karena 1857 itu umur Datuk Badiuzzaman baru 12 tahun. Oleh karena itu dia tidak diangkap menjadi raja. Bila dia lahir maka dia lahir pada tahun 1845, kalau terjadi peperangan Sunggal ini pada tahun 1872 maka dia sudah berumur 27 tahun. Jadi dia sudah jadi raja dan sudah dewasa memang dan dia memang punya penasehat-penasehat, panglima-panglima seperti yang kita sebutkan tadi.

Datuk Ahmad Laut Surbakti yang punya tiga orang anak tadi, Datuk Abdullah Ahmad Surbakti dan Datuk Jalil Surbakti. Oleh Datuk Ahmad Laut Surbakti yang memerintah 1821-1845 pada 1845-1857 diserahkan pemerintahan itu kepada anaknya yang tertua, Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, inilah ayah dari Datuk Badiuzzaman, Datuk Abdullah Ahmad Surbakti yang saya sebutkan memberikan nasehat kepada anaknya mempunyai 8 orang anak, 6 orang anak laki-laki, dan 2 orang anak perempuan. Jadi dari anak laki-laki yang salah satu diantaranya adalah Datuk Badiuzzaman, ketika Datuk Abdullah Ahmad Surbakti menyerahkan kepemimpinannya pada tahun 1857 umur Datuk Badiuzzaman baru berumur 12 tahun. Waktu diserahkannya umur anakya ini masih 12 tahun. Oleh karena itu diserahkan kepada pamannya bukan kepada anaknya. Itulah pamannya yang bernama Datuk Muhammad Dini Kecil. Dia memerintah dari tahun 1857-1866 baru 1866 Datuk Badiuzzaman memegang pemerintahan itu ketika dia sudah berusia 21 tahun. 6 tahun kemudian baru terjadi Perang Sunggal jadi sudah 27 umurnya. Jadi sudah cukup dewasa walaupun belum terlalu dewasa karena baru umurnya.

Inilah barangkali jawaban, jadi bukan 6 tahun dia memerintah baru terjadi perang, ketika umurnya 27 tahun. Ini klarifikasi kita tentang hal ini tadi supaya lebih jelas, mengapa hal-hal seperti itu kadang-kadang bisa menjadi masalah. Namun tentu tahun kelahirannya dan silsilahnya harus dicari juga kembali, ini yang sudah kita susun mencadi buku dan gambarnya juga waktu diangkat sudah berumur 21 tahun masih nampak terlalu muda ketika diangkat menjadi raja pertama kali. Saya tidak mengerti apakah gambar ini gambar diangkat pertama kali menjadi raja atau gambar ini dibuat ketika dia masih muda belia. Dibuat ketika dia berumur 15, 16, 17 tahun karena nampaknya umurnya belum sampai 21 tahun. Tapi mungkin juga ini sudah 21 tahun, orang dulu 21 tahun masih muda-muda nampaknya. Tidak persis karena gambar ini didapat seperti apa yang disebutkan oleh keluarganya.

Jadi ada gambar satu lagi yang sudah agak tua, barangkali itu gambar yang lalu. Karena waktu seminar yang lalu yaitu ada pada keluarga, itu sudah agak lebih tua, gambar itu seperti apa adanya. Inilah keterangan kita terhadap apa yang dipertanyakan tentang tahun tahun kelahirannya itu tadi. Kemudian ada lagi pertanyaan-pertanyaan dari pak Tampak Sebayang tadi sudah dijawab 38 bangsal yang dibakar. Tidak kami sebutkan di sini jumlah bangsal, banyak bangsal. Jadi pak Tampak minta supaya jelas berapa bangsalnya, ada 38 bangsal yang dibakar.

Kemudian mengenai klaim tanah berapa banyak, ini juga dulu tidak ada diukur-ukur, katakana saja daerah Sunggal, entah berapa hektar itu wilayah Sunggal itu. Jadi tidak jelas memang tapi daerah Sunggal. Kalau ditanya bagaimana perjuangan politiknya dalam pemerintahan tentu sebagai seorang raja. Seperti yang saya katakana tadi, dia mengadakan persidangan mengundang dari Aceh, dari Karo. Ini sebenarnya yang dikatakan politik, bagaimana di dengarnya kabar bahwa tanah Sunggal itu mau dijadikan perkebunan. Lalu dikumpulkan rakyatnya, dikumpulkan wakil-wakil dari daerah sekitarnya Aceh dan Karo, munculah tiga keputusan yang kami sebutkan tadi.

Menyangkut nama dan itu menjadi masalah juga bagi kita kenapa waktu itu Belanda itu mengalahkan Sunggal. Sunggal itu seakan-akan sama tahannya dengan Karo dan Aceh jadi sering disebut Sunggl, Karo, Aceh bersikap begini; ‘tidak menyebut Melayu tetapi menyebut Sunggal, Karo, Aceh’. Karo dan Aceh ini menyebut nama suku tapi ketika itu disejajarkan. Kenapa? Karena daerah ini yang menjadi basis tempat mereka untuk berkumpul untuk membicarakan bagaimana nasib tanah Sunggal ini, jadi itu politiknya. Sedangkan pertempuran dan gerilya, tadi sudah digambarkan pula tentu walaupun saya tidak menggambarkan secara fisik bagaimana pertempuran Sunggal itu. Karena kalau seminar pertempuran Sunggal tentu dibicarakan dalam seminar pertempuran Sunggal.

Barangkali itu saja jawaban kami terhadap ini, kami ucapkan terima kasih kepada Muhammad TWH yang akan juga menjadikan Muhammad Hasan untuk mengusulkan menjadi pahlawan nasional. Walaupun dia ini orang Aceh tetapi basis perjuangannya adalah di Medan. Oleh karena itu akan diselenggarakan oleh Pemda Propinsi Sumatera Utara. Ini saja yang dapat kami sampaikan, terima kasih.


Moderator

Terima kasih pak Ahmad Samin, terhadap pemaparan dari narasumber tadi, apakah dari kerabat terdekat dari Datuk Badiuzzaman yang memberikan klarifikasi atau tambahan keterangan tentang tanggal kelahiran Datuk Badiuzzaman kami persilahkan.
Datuk Khairil
Keturunan Datuk Badiuzzaman

Terima kasih, dari literature yang kami dapatkan dan tarombo/silsilah keturunan Sirsir Surbakti, Datuk Badiuzzaman merupakan keturunan ke IX memerintah di Sunggal pada tahun 1866 s/d 1895,lahir pada tahun 1845 dan ayahnya wafat pada tahun 1857, pada waktu itu atas permufakatan keluarga diangkat Datuk Mahini menjadi pemangku pada tahun 1857 s/d 1866 ,dalam Polititiek Verslag Resident Riouw 5 Pebruari 1873 dikatakan Datuk Badiuzzaman memerintahkan kepada komandan pasukan rakyat Sunggal untuk menambahkan daerah perang terutama di daerah Karo. Kepada mereka yang berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan ditangkap. Hasutan Sultan Deli untuk merenggangkan hubungannya dengan Datuk Badiuzzaman dan pamannya tidak berhasil. Kemudian pada tahun 1873 juga seorang Cina pedagang candu di tangkap oleh Datuk Badiuzzaman setelah beberapa bulan dilepaskan dari penjara dan dilarang masuk ke Sunggal menjual candu kepada rakyat, jadi dia sudah memerintah pada waktu itu. Jadi ini saja keterangan dari kami, terima kasih.

Moderator
Terima kasih kepada Datuk Khairil, saya kira sudah jelas ya walaupun tanggal, tahun lahir itu tadi tidak ada diklarifikasi tetapi tahun perjuangan-perjuangannya dia sudah menjadi raja, banyak data yang bisa kita rujuk untuk membuktikan bahwa ia sudah menjadi raja dan berjuang di tahun-tahun yang disebutkan tadi. Saya kira untuk sesi pertama ini sudah cukup jelas, baik dari narasumber juga dari pihak kerabat dari Datuk Badiuzzaman sendiri. untuk sesi kedua juga untuk tiga orang penanya kami beri kesempatan. Satu untuk ibu yang di tengah, satu yang belakang dan satu yang disamping. Jadi pertama ibu yang di tengah dipersilahkan.
Fitriati Harahap
Fakultas Sastra Jurusan Sejarah USU

Assalamu’alaikum wr. wb, pertanyaan untuk Prof. Samin; sejarah tidak terlepas dari waktu, tempat dan pelaku. Waktu dan tempat sudah diketahui cuma waktunya masih rancu, dari keterangan yang telah kita perbincangkan dari tadi tahun 1845 diperkirakan dia lahir tahun 1857 ketika ayahnya meninggal dia diangkat Datuk lalu 1866 dia memerintah kemudian 1872 terjadi Perang Sunggal. Tetapi pada tahun 1895 dia dibuang ke Cianjur, 1872-1895, supaya memperkuat Datuk Badiuzzaman menjadi pahlawan apa peran yang beliau lakukan. Kenapa dia ditangkap, kemudian untuk pak Prof. Payung Bangun, ada beberapa kajian diterangkan oleh bapak mengenai peran Datuk Badiuzzaman kemudian yang mau saya tanyakan peranan dari Datuk Badiuzzaman yang lebih detail sehingga beliau ini tidak susah untuk kita angkat menjadi pahlawan nasional.

Kemudian untuk Prof. Anhar Gonggong kebetulan kakak kelas saya karena saya juga berasal dari UGM. Sejarah memang merupakan hasil interprestasi dari sejarahwan, tetapi interpretasi dari sejarahwan itu harus dan wajib ada fakta. Jadi yang saya tanyakan kepada pak Anhar, apa dari kepahlawanan dari Datuk Badiuzzaman dihubungkan dengan interprestasi sejarahwan karena tidak mungkin kita mengangkat seorang pahlawan. Kemudian saya memberikan masukan kepada panitia ada Nederland Institute for War of Documentasi. Dokumentasi tentang perang-perang yang ada di Indonesia ini disimpan di sana. Jadi mudah-mudahan kalau panitia kekurangan data atau fakta sejarah silahkan saja hubungi, terima kasih, assalamu’alaikum.


Moderator

Selanjutnya kepada ibu yang paling belakang.


Ratna
Fakultas Sastra Jurusan Sejarah USU

Pertama, pertanyaan saya satu hampir sama dengan bu Fitri, saya ingin mengkritisi, maaf saya mohon maaf sebesar-besarnya tentang tahun perjuangan Datuk Badiuzzaman yang ditulis tahun 1872-1895. kebetulan dalam penulisan sejarah Indonesia di Jakarta, kebetulan bahwa penulisan sejarah Indonesia di Jakata, saya termasuk orang yang disuruh menulis tentang Perang Sunggal. Saya menulis Perang Sunggal pada periode 1872 dan tokoh yang paling amat sangat, saya kira lebih hebat dari Kiyai Fattah adalah Datuk Kecil.

Di dalam laporan-laporan Belanda kebetulan ada di arsip nasional dan kemudian di dalam laporan ekspedisi Nardedi yang ditulis oleh Jeger dia tidak ada menyebut, maaf Datuk Badiuzzaman pada tahun 1872. Dia menyebut tiga nama; 1) Datuk Kecil, 2) Sultan Laut, 3) saya lupa, tiga nama itu yang dikejar-kejar oleh Belanda sampai ke Tanah Karo. Setelah periode 1872, saya nggak tau apa yang terjadi tapi kalau kita baca buku Lukman Sinar, dia ada menulis beberapa kejadian tapi kejadian itu per daerah. Dia tidak ada menyebut tentang apa yang dilakukan oleh Datuk Badiuzzaman setelah Datuk Kecil ditangkap. Saya kira yang mau memberikan masukan, coba kita lihat kenapa Datuk Badiuzzaman sampai ditangkap, apa yang dilakukannya setelah meninggalnya Datuk Kecil.

Memang ada laporan di situ bahwa rumah Datuk Badiuzzaman dipakai untuk pertemuan-pertemuan untuk mendukung perang. Tapi apakah misalnya ada rumah tokoh A, dia dipanggil sebagai ini, apa mungkin dia diangkat sebagai pahlawan nasional. Itu saja, ada kajian khusus tentang itu, kalau memang ada saya juga setuju beliau diangkat, cuma saya harap kita harus teliti tentang hal ini.

Kedua, tadi pak Samin sebutkan kita hanya ingin melampirkan tokoh tapi kalau kita melampirkan tokoh kita harus tau, tokoh itu muncul kenapa tapi terkait tetap dengan Perang Sunggal. Saya kira tidak mungkin terkait dengan Perang Sunggal. Saya kira tidak mungkin tidak terkait dengan Perang Sunggal, Perang Sunggal kapan itu terjadi. Setahu saya sampai 1872, 1895 saya nggak tau perang apa namanya itu tapi mungkin Sunggal cuma itu yang kita kaji.

Ketiga, saya melihat makalah yang kita siapkan dari Seminar pertama kemudian yang ketiga, tidak ada tambahan sumber yang benar-benar mendukung persoalan ini. Masih itu-itu saja, padahal banyak sumber Belanda, nggak usah jauh-jauh sampai ke Negeri Belanda, di arsip saya sudah lihat. Yang terakhir, saya ingin mengatakan tanpa pahlawan sejarah berjalan terus tapi tanpa pahlawan alangkah sepinya hari ini, terima kasih, assalamu’alaikum.


Moderator

Terima kasih, bapak yang sebelah kanan.

Nasrul Hamdani
Alumni Jurusan Sejarah USU/Sejarahwan Partikel sedang mendokumentasikan fakta-fakta keras di Sumut.

Tadi saya sepakat dengan pak Anhar harus ada fakta yang lebih baru tentang peristiwa ini. sampai sekarang tahun 2006 hanya ada satu literature yang membahas tentang perang Sunggal ini. Oleh karena itu saya pikir penting sekali untuk mencari arsip baru yang saya kira masih banyak. Yang kedua, saya berpikir bahwa seminar ini adalah usaha untuk memancing ingatan kita siapa Datuk Badiuzzaman Tapi ketika saya dengarkan ada unsur pembesaran dan itu di mana Datuk Kecil. Padahal sebelum 1817 Datuk Kecil adalah mampu berdasarkan keterangan laporan tahunan. Jadi penting sekali di lihat, jadi jangan kita mengangkat orang tapi menginjak orang lain. Datuk Kecil harus masuk, Datuk Sunggal itu lembaganya, Datuk Badiuzzaman menjabatnya, siapa yang menjabat Datuk Sunggalkah atau Datuk Badiuzzaman, siapa Datuk Kecil itu?.

Yang ketiga, saya agak sedikit gregetan juga dengan kutipan pak Samin tentang prosa atau pantun itu. Prosa itu menurut Ibnu Masinah pesan dari Datuk Kecil kepada Datuk Badiuzzaman kita boleh memutar balik tetapi fakta baru itu manipulasi. Kita ingin nantinya Datuk yang dijadikan pahlawan ini dianulir sebagai Datuk Ibrahim Tan Malaka. Datuk Ibrahim Tan Malaka adalah pahlawan yang dianulir. Saya pikir sebelum lebih lanjut penting adanya penelitian yang lebih intensif tentang Datuk Badiuzzaman, siapa itu Datuk Badiuzzaman apa perannya. Karena pembuangan Datuk Badiuzzaman ke Cianjur tidak lebih dari usaha untuk mematikan gerak rakyat Sunggal pada waktu itu. Baik saya pikir itu saja dan pantas untuk dipikirkan lebih intensif tentang Datuk Badiuzzaman

Moderator

Terima kasih kepada pak Nasrul Hamdani, sudah ada tiga pertanyaan dan juga masukan untuk didiskusikan. Pertama; kami persembahkan kepada Prof. Payung Bangun, silahkan.


Payung Bangun

Terima kasih, mengenai peran yang lebih rinci dari Datuk Badiuzzaman sebenarnya tadi sudah saya kemukakan memang bukan lebih rinci tetapi lebih terfokus barangkali. Saya melihat bahwa perang itu pertama adalah yang berkaitan langsung dengan perang itu sendiri yaitu yang sedang memimpin perang. Supaya perang itu bisa terselenggara dengan baik, maksud saya bahwa supaya perlawanan terhadap agresi Belanda itu bisa cukup besar maka perlu koordinasi kekuatan. Selain daripada itu tentunya oleh karena Datuk Badiuzzaman adalah seorang pemimpin negeri memegang kendali pemerintahan negeri, ini yang saya lihat pertama. Kemudian bagian yang kedua perangnya itu adalah bagaimana sebenarnya seseorang itu harus mempertahankan harga diri. Nah inilah yang saya lihat adalah mengapa sebenarnya ekspansi pertemuan itu tidak begitu disukai oleh Datuk Badiuzzaman Ini yang harus kita kembalikan kepada barangkali kepada apa sebenarnya fungsi tanah bagi masyarakat yang ada di daerah Sunggal itu.

Tanah adalah lambang dari status, lambang dari harga diri, bila tanah itu jatuh ke tangan kekuasaan orang lain berarti harga diri pemilik tanah Sunggal itu akan hilang, tradisinya begitu. Kalau kita setuju untuk lebih memperluas persoalan harga diri maka di situlah kita bisa temukan unsur nasionalisme. Maka perang yang kedua adalah setidak-tidaknya menyadarkan sekaligus nasionalisme yang ada pada waktu itu. Nasionalisme dalam konteks kehidupan masyarakat pada waktu perjuangan itu tejadi. Itu barangkali yang perlu saya terangkan, tapi ada tidak ada yang baru karena di makalah saya yang kedua saya katakan adalah sebenarnya sekedar penajaman daripada apa yang saya kemukakan tahun 2004 lalu di Hotel Tiara. Memang perlu dilakukan lagi penggalian-penggalian atau pembaca-pembacaan baru, terima kasih.


Moderator

Terima kasih pak Payung Bangun, selanjutnya kepada pak Anhar.

Anhar Gonggong

Terima kasih, tentu saja bahwa ada fakta-fakta itu tidak akan berbicara kalau tidak akan di interprestasikan, interprestasi tidak boleh melampaui batas. Saya kira yang sangat diperlukan adalah fakta-faktanya agar tersambung cerita faktual itu memang ada perlu cerita. Sebenarnya yang diperlukan untuk pencalonan itu bukan analisa tapi fakta-fakta yang akurat, lain lagi kalau yang menarik dari tokoh ini misalnya kalau dikaitkan. Karena kebetulan saya mengajar sejarah Ekologi di Atmajaya dan salah satu yang saya berikan kepada murid saya adalah bagaimana kaitan antara perkembangan perkebunan termasuk di Sumatera Timur dengan perkembangan Kapitalisme.

Menarik untuk melihat kalau hal ini tidak dalam rangka pencalonan dia tapi mungkin ada juga. Dalam arti kata untuk memperlihatkan bagaimana sikap tokoh kita ini terhadap penetrasi kapitalisme lewat pemerintah kolonial dengan kasus pemberontak itu. Karena memang pemberontakan di perkebunan itu sangat banyak, termasuk di sini. Saya punya bukunya ada 15-an judul tentang perkebunan yang menyangkut itu. Saya baru sadar bahwa ini menarik kalau saya bicara tentang perkebunan di Sumatera dalam kaitan dengan pemberontakan. Maka tampaknya tokoh Datuk Badiuzzaman menarik dan tentu juga tokoh yang lainnya sehingga akan lebih menarik untuk ditampakkan sebagai perannya dalam kaitannya dalam perkembangan perkebunan. Penolakannya terhadap rencana Belanda untuk mengambil tanah dan dijadikan perkebunan. Nah menariknya di situ kalau mau dianalisa bisa menjadi tesis S3 kalau ada yang mau.

Nah apa yang dikemukakan oleh bu Ratna tadi yang menarik bahwa ada tokoh-tokoh lain tentu saja, jangan disembunyikan itu. Tokoh-tokoh lain ini dan kalau perlu dua-duanya dicalonkan kasih aja SK nya dan nanti panitia itu yang akan menentukan dua-duanya boleh masuk, ya masuk. Jadi saya hal ini menarik juga tetapi tidak berarti masuknya tokoh ini akan mengurangi posisi dari tokoh yang akan diajukan itu. Ini yang harus diingat tetapi jangan seperti kata pak Nasrul ada manipulasi, saya kira itu harus dihindari betul jangan sampai ada manipulasi data. Tetapi juga karena orang-orang yang menjadi panitia itu adalah orang-orang yang tau juga sejarah, manipulasi itu tentu dalam batas tertentu akan ketahuan.

Tidak benar kalau kepahlawanan Tan Malaka dianulir tidak pernah ada SK yang menganulir itu, yang terjadi adalah bahwa selama orde baru berkuasa riwayat hidup Tan Malaka tidak boleh ditulis dan itu bukan perintah tertulis. Saya tau benar karena saya berada pada posisi di lembaga itu, jadi Tan Malaka sampai saat ini sejak diangkat pada tahun 1964 kalau tidak salah tetap pahlawan nasional. Hanya oleh karena dia dianggap sebagai orang yang PKI yang sebenarnya salah juga. Karena PKI pada awalnya tetapi kemudian berlawanan dengan PKI dan kemudian membentuk aliran basis yang lain yang nasionalis dan Adam Malik adalah muridnya Tan Malaka wakil presiden juga. Jadi jangan salah hanya situasi yang menyebabkan Tan Malaka pernah namanya tidak ditampilkan hanya itu saja tapi tidak dianulir. Melihat sampai saat ini tetap pahlawan nasional dan saya pastikan dan Departemen Sosial pasti akan memanggil saya karena memang ada yang mau dianulir. Saya kira yang lainnya harus ada fakta dan segala macam, terima kasih.


Moderator

Terima kasih pak Anhar, ini yang paling berat tentu pak Ahmad Samin terutama sekali tentang menjelaskan perjuangan pada tahun 1872-1895, pernah ada catatan yang berbeda dengan itu. Tapi mungkin juga pak Ahmad Samin menulis berdasarkan fakta-fakta yang akurat, jad kami berikan kesempatan untuk menjelaskan.


Ahmad Samin Siregar

Terima kasih, pertama mengenai tahunnya ini, sebenarnya seperti yang saya terangkan tadi, jadi ketika dia berumur 12 belum diangkat menjadi raja karena masih dianggap anak-anak. Oleh karena itu digantikan dengan pamannya Datuk Kecil Surbakti, ini jelas terlihat dalam makalah kami dan juga pada makalah-makalah yang lalu sebenarnya hal ini sudah dibicarakan. Bahkan sudah menjadi laporan ke Departemen Sosial tapi laporan ini dianggap masih kurang memadai maka diadakan kembali seminar ini.

Kebetulan saya tidak dapat bidang itu pada waktu kesempatan itu, tapi sudah saya terangkan sebenarnya ketika saya pertama sekali mendapat tugas adalah kecintaan rakyat kepada Datuk Badiuzzaman dan kegigihan Datuk Badiuzzaman dalam perjuangan menentang. Itu sebenarnya yang menjadi pokok pembicaraan saya, kalau pokok pembicaraan mengenai sejarahnya sebenarnya itu lebih banyak diminta ahli sejarah seharusnya bukan kepada saya. Jadi saya berbicara tentang hal yang seperti itu, jadi saudara mengatakan ada menyinggung tentang tahun-tahun sejarah di dalam makalah ini, itu betul. Tapi itu kita ambil dari hasil laporan-laporan yang lalu yang sudah dilaporkan Departemen.

Sebenarnya hirarki itu sudah saya terangkan bagaimana, pada umur 12 tahun sebenarnya Datuk Muhammad Dini itu yang menjadi raja 1857-1866, baru 1866 Datuk Badiuzzaman resmi menjadi penguasa Sunggal. Sekarang siapa yang mengucapkan kata-kata itu, ada dua pendapat, di buku Perang Sunggal yang mengatakan itu adalah pamannya Datuk Muhammad Dini. Tetapi di dalam laporan yang disampaikan oleh panitia yang mengatakan itu adalah ayahnya kepada anaknya masalahnya ayahnya itulah yang paling lebih dekat kepada anaknya daripada pamannya kepada anaknya. Itu saja yang dapat kita pegang tapi tidak ada yang mengatakan pasti, yang mengatakan itu adalah pamannya kepada kemanakannya atau ayahnya kepada anaknya, kedua-duanya ada pendapat itu.

Jadi kalau saya melihat jalur keluarga lebih dekat ayah ke anak maka saya pilih yang laporan dari panitia yang mengatakan bahwa ini adalah kata-kata dari Datuk Abdullah Ahmad Sri Indah Pahlawan Surbakti Raja Gonggong ke 18 Sunggal. Jadi bukan Raja ke 19 karena kalau Gonggong ke 19 adalah Datuk Muhammad Dini itulah datuk kecil tadi, itu pamannya. Menyangkut apa yang dikatakan tadi mengenai mengapa namanya di sini apakah ini dimanipulasi, ini tidak dimanipulasi. Jadi pendapat itu masih ada kedua-duanya, pendapat yang disampaikan oleh Tuanku Lukman Sinaga di dalam bukunya tentang Perang Sunggal yang ada mengatakan dari pamannya kepada kemanakannya dan panitia mengatakan bahwa ini adalah dari ayahnya kepada anaknya. Saya lebih condong ayahnya kepada anaknya daripada pamannya kepada kemenakannya karena ayahnya harus memberikan nasehat kepada anaknya. Tapi kemungkinan pamannya itu bisa saja terjadi namun buktinya sampai sekarang belum ada yang mana diantara kedua itu. Itu jawaban sekaligus untuk pertanyaan yang diajukan tadi.

Kemudian mengenai Perang Sunggal ada satu istilah lagi ini barangkali perlu diperjelas lagi oleh orang jurusan sejarah. Pengertian Perang Sunggal dengan Batak Oorlog karena selalu disebut Perang Sunggal itu adalah Batak Oorlog padahal terjadinya di Sunggal. Mungkin karena orang Karo dianggap orang Karo itu juga Batak atau disebut Batak Oorlog. Oorlog itu berlangsung sepanjang seperti yang kita sebutkan tadi. Jadi kalau disebut hanya tahun 1872 itu hanya setahun saja tapi berlanjut terus sampai 1895 sampai di buang itu terjadi perang terus. Jadi cukup panjang 28 tahun bukan hanya setahun dan ini yang harus diperjelas. Apakah 25 tahun itu Perang Sunggal yang terjadi atau Batak Oorlog, apakah Perang Sunggal itu hanya setahun saja. Kalau setahun saja itu tetap masa pemerintahan Datuk Badiuzzaman karena 1872 Datuk Badiuzzaman yang menjadi raja di Sunggal.

Jadi ini yang perlu kami perhatikan tentang hal-hal yang seperti ini dan saya seperti yang disampaikan oleh pak Anhar tadi sangat setuju sekali bahwa bertambah banyak pahlawan nasional untuk kita usulkan menjadi pahlawan nasional, ya bertambah baik. Kenapa tidak Datuk Kecil umpamanya dari daerah lain juga banyak, sudah beberapa orang yang mengusulkan pahlawan-pahlawan nasional. Jadi ini bisa saja terjadi karena pada masa yang akan datang orang melihat Datuk Kecil lebih banyak sumbangannaya dalam menentang penjajahan Belanda.

Kemudian tentang hal-hal lain yang ada di dalam makalah kami itu sebenarnya memang lebih banyak seperti pak Payung Bangun, kami lebih banyak mengulang-ulang kembali apa yang terjadi. Cuma dalam seminar yang lalu kita lebih banyak bercerita tentang Perang Sunggalnya. Ada permintaan dari keluarga, jangan cerita tentang Perang Sunggalnya lagi tapi cerita tentang ketokohannya, itu makanya tadi saya sebut. Kita berbicara tentang ketokohan sekarang bukan bercerita tentang Perang Sunggal. Kalau cerita Perang Sunggal yang lalu lebih banyak kita bicarakan tentang Perang Sunggal, sudah laporan ke Departemen beberapa waktu yang lalu. Jadi coba kita lihat di mana ketokohannya, kebetulan pada saya diminta dua hal ini tadi, pertama soal kecintaan Datuk Sunggal kepada rakyatnya kedua mengenai perjuangan menentang penjajahan Belanda.

Itulah butir-butir yang saya sebutkan 4-5 yang saya sampaikan kepada kita bersama yang dapat saya lihat dari butir itu. Sudah tentu butir ini hanya sebagian dari apa yang ada pada perjalanan sejarah. Ini harus lebih diungkapkan lebih jauh lagi oleh para pakar kita untuk melihat dan harus disampaikan pada kesempatan ini. Barangkali ini masalah-masalah yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini soal kita pro atau kontra dalam mengusulkan ini adalah masalah pro dan kontra yang biasa terjadi di mana-mana pun. Pasti ada yang tidak setuju, pasti ada setuju di mana pun pasti ada tapi keluarga dari Datuk Badiuzzaman mencoba ingin menyampaikan. Kalau ada keluarga ahli dari Datuk Kecil atau Datuk Sulung mau menyampaikan ini lebih top lagi daripada apa yang kita sampaikan. Bertanya pahlawan nasional dari Sumatera Utara tentu memperbanyak jasa-jasa para pahlawan kita di Sumut untuk menegakkang kemerdekaan di Republik yang kita cintai.

Barangkali ini latar belakangnya, jadi saya tidak akan berbicara tentang Datuk Kecil, Datuk Sulung dsb karena yang diminta di sini adalah Datuk Badiuzzaman, jadi kalau ada usul-usul seperti itu, ya kita silahkan saja. Jangankan yang berperang jauh-jauh hari yang berperang pada kemerdekaan saja kita sudah coba usulkan walaupun masih menjadi masalah. Seperti Ahmad Tahir dan Maraden Pangabean itu sudah kita bicarakan tapi semampu kita. Saya tau persis, ini juga yang menjadi halangan kepada kita pada waktu yang lalu sehingga terjadi seminarnya sampai 3 kali sampai diulang-ulang. Yang terakhir di Berastagi hanya 7 orang yang hadir banyak yang tidak hadir, dari Jakarta juga tidak bisa hadir. Jadi silahkan saja kita diskusikan tapi itulah gambaran, saya hanya mencatata tentang gambaran kecintaan Datuk Badiuzzaman kepada rakyatnya dan gambaran Datuk Badiuzzaman menentang penjajahan Belanda, saya kembalikan kepada moderator.


Moderator

Terima kasih pak Ahmad Samin, ini memang masih mungkin dari bu Fitriati dan ibu Ratna belum puas tetapi karena masalah tahun-tahun perjuangan itu katanya sudah jauh dibahas pada masa-masa yang lalu. Kalau memang ada data yang lebih akurat tentang tahun-tahun perjuangan dan bagaimana keterlibatan Datuk Badiuzzaman tadi panitia sangat mengharapkan data yang lebih akurat. Tetapi di sini kita tidak membahas berpanjang lebar tapi satu hal yang perlu kita sama-sama ingat bahwa tadi dari pertama kali narasumber mengatakan bahwa kalau dari Sunggal dua orang pahlawan saya kira sulit. Karena perjuangannya tidak ada sama atau melebihi yang lain jadi kalau begitu hanya Perang Sunggal dua atau lebih itu hanya ada satu yang lebih dari yang lain. Jadi ini perlu juga menjadi pemikiran bagi kita semua karena dia berjuang tidak ada yang sama atau melebihi. Kalau tidak salah dari awal seminar kita ini, itu sementara untuk sesi yang kedua ini.
Saya kira karena memang panitia masih memberikan waktu kepada kita kalau masih ada dari kita mau menyampaikan pertanyaan atau tanggapan mungkin untuk dua oranglah kita berikan kesempatan. Mungkin satu bapak yang pakai peci yang warna kuning dan satu dari keluarga/kerabat dari Datuk Badiuzzaman. Pertama kepada bapak kami persilahkan.


H. M. Yakub Ramli Siregar
Ketua Iprokom Sumut

Assalamu’alaikum wr. wb. Sebenarnya penjelasan dari para pakar ini sudah memuaskan. Apakah pemerintah Aceh, apakah hanya dua atau tiga orang gembong-gembong dari Aceh juga dari Karo, perlu juga disebutkan. Apakah tidak perlu kita sebutkan karena kita yang hadir ini dari saya ingin seminar kita ini berhasil dan Datuk Badiuzzaman dapat diberikan pahlawan nasional. Satu lagi tentang batas Sultan Deli yang menyetujui diserahkan kepada Belanda tetapi tidak disetujui oleh Datuk Badiuzzaman. Apakah bisa kita sebutkan batas-batasnya apakah berbatasan dengan Karo sekarang dan juga dengan yang lain. Itu saja pertanyaan dari saya, assalamu’alaikum wr. wb.


Moderator

Selanjutnya kepada Datuk Khairil kami persilahkan.

Datuk Khairil
Keluarga/Kerabat Datuk Badiuzzaman

Saya hanya ingin mengklarifikasi saja sebenarnya antara Datuk Muhammad Dini dengan Datuk Badiuzzaman tidak dapat dipisahkan karena mereka dari keluarga yang sama dan tidak ada pertentangan keluarga.Kedatukan Sunggal adalah suatu institusi adat yang mempunyai peminpin,dari sejarah berdirinya tidak pernah mereka berjuang sendiri-sendiri tanpa berkoordinasi dengan yang lainnya.Apalagi dalam perjuangan melawan Belanda semua mereka berjuang tetapi setiap perjuangan pasti mempunyai seorang pemimpin,pemimpin perjuangan pada waktu itu adalah Datuk Badiuzzaman(Datuk Sunggal) dengan dibantu dua orang pamannya sebagai penasehat Datuk Abdul Jalil dan Datuk Mahini serta sepupunya Datuk Soelong Barat sampai dengan akhir Juni 1872 serta adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar dan seluruh rakyat Sunggal sampai tahun 1895. Yang ada hanya semangat perjuangan untuk menjadikan mereka berjuang melampaui batas dirinya dan keluarganya. perlu saya klarifikasi juga tentang pendapat pernyataan pesan tersebut, peristiwa itu terjadi ketika Tengku Lukman mendatangi kakek saya Datuk Muhammad Hitam(cucu Datuk Badiuzzaman) sekitar tahun 1977 dalam kaitan pembuatan buku Perang Sunggal.Waktu itu disampaikan pesan turun-temurun Datuk Amar Laut kepada Datuk Ahmad dan diturunkan kembali kepada Datuk Badiuzzaman , tentang pesan-pesan yang diberikan ayahnya. Nah inilah yang mungkin disampaikan oleh Tengku Lukman dalam bukunya yang terselip cerita tentang Datuk Kecil yang juga merupakan anak dari Datuk Ahmad dan sekaligus paman dari Datuk Badiuzzaman.

Kalau kita melihat ketika Belanda menangkap Datuk Abdul Jalil ,Datuk Mahini dan Soelong Barat, pada saat itu Datuk Mahini ditandu karena usianya yang sudah tua dan sakit. Jadi posisi kita pada saat ini adalah membicarakan tentang sejarah perjuangan Datuk Badiuzzaman pada tahun 1872 s/d 1875 yang merupakan kekayaan khasanah bangsa ini secara bersama-sama.Sehingga terkumpul data dan fakta yang konkrit tentang perjuangannya.Antara Datuk Badiuzzaman, Datuk Ahmad, Datuk Kecil, Datuk Sunggal tidak untuk dipersoalkan karena memang mereka adalah bersaudara satu keturunan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, Belanda telah mencoba mengadu domba mereka tetapi tidak pernah berhasil sejarah telah mencatatnya dan juga sejarah telah mencatat bahwa mereka adalah pejuang-pejuang yang terhebat di negeri ini. Demikian atas kesempatan yang diberikan, assalamu’alaikum wr. wb.

Moderator

Saya kira ada satu saja yang perlu diperjelas lagi yaitu dari bapak H.M. Yakub Ramli, Aceh itu Aceh yang mana, Karo itu yang mana, dijelaskan orangnya, gembongnya. Jadi ini kepada Prof. Payung Bangun kami persilahkan atau mungkin pak Ahmad Samin.


Payung Bangun

Sebenarnya di laporan panitia dulu itu sudah ada bahwa salah seorang tokoh Karo yang terlibat dalam Perang Sunggal ini adalah Datuk Badiuzzaman Surbakti jadi ketika mau berangkat kemari memperoleh telepon di Jakarta dari seorang teman, saya dengan bapak mau ke Medan mau ada seminar mengenai keinginan mengusulkan Datuk Badiuzzaman menjadi pahlawan nasional. Lantas dia bilang, kenapa hanya itu pak, itu Surbakti juga cukup besar dan juga tewas di pertempuran di salah satu desa beberapa kilometer dari Kabanjahe sebelah Kota Cane sana, Desa Kuala. Saya bilang persoalan itu nggak jadi masalah kalau memang cukup bahan untuk itu dan cukup kuat apa salahnya Surbakti kita usul untuk diperjuangkan. Karena bagi saya lebih dari satu orang menjadi pahlawan dari satu perjuangan itu tidak jadi masalah.

Sentot Ali Basah itu pernah diusulkan menjadi pahlawan, saya tau persis itu, Sentot Ali Basah memang ditolak karena cacat pada ujung perjuangannya yaitu dia ikut menyerang pasukan Imam Bonjol. Jadi kalau kita analogikan ke situ, ya nggak apa-apa, nggak ada masalah. Mengenai batasnya saya tidak tau persis di mana itu, tapi pernah saya baca tidak disebutkan batas itu tapi terjadinya Oorlog Batak itu karena klaim dari dua kedaulatan yang ada di daerah ini mengklaim satu daerah yaitu Tanjung Langkat. Jadi berada disekitar Tanjung Langkat, mana batas garisnya seperti sekarang Kabupaten Deli Serdang dengan Kabupaten Langkat akan lebih jelas. Jadi nggak ada yang jelas batas-batasnya, sampai ke mana pendudukan wilayah itu mampu menggarap tanah, ya sampai di situlah batasnya, permainannya begitu.


Ahmad Samin Siregar

Dari pak Ramli, ada dua pertanyaan pertama mengenai dari Aceh dan Karo berapa orang tapi dalam catatan sejarah memang belum ada terungkap berapa orang jumlahnya tapi siapa-siapa pemimpinnya itulah yang saya sebut di dalam makalah saya pada halaman 4-5. Jadi terdiri atas tiga bagian saja, pertama Rakyat Sunggal diwakili oleh 4 orang yaitu Datuk Badiuzzaman Surbakti, Datuk Sulung Surbakti, Datuk Muhammad Jalil Surbakti dan Datuk Kecil jadi mereka mengatasnamakan rakyat Sunggal. Kemudian Karo itu yang disebutkan oleh pak Payung Bangun tadi … Surbakti dan kemudian dari Aceh yang disebutkan namanya Tuanku Hasyim. Tuanku Hasyim ini mewakili panglimanya yang bertindak sebagai komandan laskar Aceh Alas Jaya. Ini yang disebut-sebut dalam beberapa catatan mengenai apa dan siapa, tetapi berapa banyak orang Aceh barangkali masih luput dari catatan, banyak begitu saja.

Kemudian batas daerah, saya juga tidak mengetahuinya dengan jelas sama dengan pak Payung Bangun. Saya tidak tau batas geografis tetapi yang seperti dikatakan pak Payung Bangun memang dulu batas-batas itukan tidak ada secara wilayah inilah menurut keputusan Camat, keputusan Bupati dsb tapi yang ada ini daerah kita. Malahan kadang-kadang batasannya hanya sungai saja seperti itu, kalau sungai berpindah secara geografis maka berpindahlah batas. Jadi tidak jelas batasnya, sekarang walaupun jelas batasnya seperti kata pak Payung Bangun masih muncul masalah-masalah. Tapi nama Sunggal dan Serbanyaman itu memang ada wilayahnya itu dicatat di dalam sejarah bangsa Indonesia juga dalam cerita-cerita juga ada disebutkan nama Sunggal dan Serbanyaman ini.

Namun masukan seperti itu kalau perlu diperjelas tetapi sepanjang yang dapat dijadikan pegangan dan kenyataan untuk menyusunan masalah-masalah perjuangan Datuk Badiuzzaman. Barangkali ini saja yang dapat kami sampaikan, sekali lagi apa yang diterangkan oleh Datuk Khairil tadi sebenarnya itulah keterangan yang kami ambil mengapa seperti yang kami sebutkan tadi ada yang mempertanyakan ini sebenarnya dimanipulasi. Saya tidak tau persis yang mana dimanipulasi, apakah yang ada di buku pak Lukman atau apa yang diterangkan oleh Datuk Khairil tadi. Tapi saya lebih condong bahwa ini adalah petuah ayahnya kepada anaknya, itulah maka saya ambil petuah raja itu kepada anaknya walaupun anaknya waktu itu berumur 12 tahun. Bagaimana seorang pahlawan itu sebenarnya harus dapat berjuang mempertahankan harga dirinya. Barangkali ini saja, terima kasih.


Moderator

Terima kasih pak Ahmad Samin, saya kira diskusi kita sampai di sini saja, atas partisipasi seluruh peserta dalam seminar ini kami dan sebagai moderator mengucapkan terima kasih. Dan segala masukan yang telah banyak disampaikan oleh narasumber kita marilah kita beri applus dan assalamu’alaikum wr. wb, selanjutnya acara ini saya serahkan kepada panitia.