Sabtu, 22 November 2008

Kesultanan Deli Tidak Mempunyai Hak Atas Tanah Ulayat

Konflik pertanahan di Sumatera Utara (SUMUT) setelah masa peralihan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia (RI) sering mengemuka, terutama masalah tanah adat dan ulayat (daerah), yang diakui oleh keturunan Kesultanan Deli sebagai hak kesultanan.

Namun, hal itu dibantah oleh empat suku dari Kedatuan Sunggal yang menyatakan bahwa Sultan Delitidak memiliki tanah ulayat, tetapi hanya sebagai administratur.

Sejarawan dan tokoh adat Tengku Lukman Sinar mengatakan, berdasarkan fakta sejarah Kesultanan Deli pada hakikatnya hanya memiliki kekuasaan yang terbatas, yang diberikan Kedatukan Sunggal, yakni daerah Kuala Belawan dan Kuala Percut . Pemberian itu dilakukan oleh Kedatukan Sunggal dengan alasan selaku kalimbubu (mertua) kepada anak beru (menantu), sehubungan dengan pernikahan sejarah itu,jelasnya, ada dua kali pelangaran oleh keturunan Sultan Deli, yaitu di masa Sultan Amaluddin Mangedar Alam. Pada 1822, Sultan Mangedar Alam menyerang Sunggal dengan maksud menaklukkan menjadi di bawah kekuasaan Deli.

Namun, ujarnya, usaha sultan keenam dari Kesultanan Deli itu gagal. Hubungan antara Kedatuan Sunggal dan Kesultanan Deli yang retak, kembali membaik pada masa Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1856). Kemudian memburuk lagi ketika Kesultanan Deli berada di tangan Mahmud Perkasa Alam yang memberikan beberapa tanah ulayat yang subur kepada Pemerintahan Hindia Belanda untuk perkebunan tembakau. Akibatnya terjadilah Perang Sunggal selama hampir 23 tahun.

Datuk Chairil Anwar Surbakti mengatakan, setelah masa penjajahan Kolonial Belanda berakhir, sebagian besar tanah ulayat di Sumatera Utara (Sumut) banyak diberikan kepada pihak-pihak lain, selama ini langkah-langkah yang sudah ditempuh oleh pemerintah Sumut, masih jauh dari rasa keadilan dan masih belum dapat menuntaskan masalah pertanahan di Sumut.

Kepala Seksi Umum Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut Supardy Marbun mengatakan, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat, disebutkan bahwa tanah-tanah yang dikelola oleh Maskapai Perkebunan Belanda tidak bisa dikatakan tanah ulayat. Demikian halnya dengan Tanah Deli yang diberikan kepada Belanda, statusnya setelah pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, otomatis menjadi milik pemerintah RI.

”Artinya, ketentuannya sudah jelas bahwa tanah bekas perkebunan Belanda di Tanah Deli ini menjadi milik pemerintah”,ujarnya.

Arsip.
Sumber: Media Indonesia, Kamis 28 Agustus 2003, halaman 21.