Sabtu, 22 November 2008

V. Makna Perjuangan Datuk Badiuzzaman bagi Bangsa Indonesia

Perlawanan terhadap kekuasaan Belanda sebagai advokasi atau pembelaan kepentingan rakyat kecil, yaitu para petani atau pengusaha perkebunan bumiputera, merupakan inti perjuangan Datuk Badiuzzaman. Pemodal asing atau pemerintah kolonial dilawan bukan karena melulu orangnya, tetapi lebih-lebih karena tindakan atau perbuatannya yang tidak memenuhi rasa keadilan. Pada masanya, semangat juang itu memengaruhi jiwa dan semangat bagi perlawanan rakyat yang terjadi di Simalungun di bawah pimpinan Sanggar Baru dan Raja Aing. Di tanah Karo dipimpin oleh Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII (1849 – 1907), dan gerakan Tiga O di Tapanuli yang dipimpin oleh Tuan Manulang. Tentu saja, belum dapat dikatakan bahwa perlawanan dan perjuangan rakyat itu menjadi satu-satunya sumber inspirasi dari perjuangan itu. Akan tetapi, perlawanan-perlawanan yang muncul itu ada benang merahnya yang sama, yaitu suatu gerakan emansipasi atau persamaan hak dan status masyarakat bumiputera terhadap tekanan dan penindasan asing yang diwakili oleh kekuasaan Kompeni Belanda.

Perang yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman atau Perang Sunggal memang berakhir pada 1895, tetapi bukan berarti perlawanan rakyat itu berakhir. Dengan berbagai cara dan tindakannya sendiri, rakyat meneruskan perlawanan menentang kolonialisme dan ekspansi pemodal asing yang mengisap kekayaan alam bumi Indonesia. Lewat gangguan pada pemukiman para kuli dan pembakaran bangsal penggilingan tembakau, rakyat menunjukkan bahwa perlawanan itu masih terus berlangsung. Gerakan Aron yang merupakan gambaran gejolak para petani di Deli yang terus bergerak dan berjuang bahkan sampai saat tentara Jepang menduduki Nusantara, juga menjadi bukti semangat juang itu tidak berhenti. Kerja sama yang digalang oleh Datuk dari Sunggal itu antara lain dengan pemimpin dan rakyat di Tanah Karo, dengan kesultanan Aceh, menjadi lahan yang menyuburkan semangat nasionalisme yang anti penjajahan.

Perlawanan Datuk Badiuzzaman dapat dipatahkan lewat konspirasi dan kolusi pemodal swasta asing dengan pemerintah Belanda, dibantu oleh elite tradisional yang tidak memiliki jiwa nasionalistik. Meskipun berbeda kepentingan dan pandangan politik dengan Sultan Deli, dalam rangka menjalin semangat perjuangan “bangsa” atau kaumnya, Datuk Badiuzzaman tetap meneruskan tali silaturahmi dengan tetap mau diajak berunding. Perundingan sebagai niat baik sang datuk pun bisa ditunggangi oleh kepentingan Belanda, tetapi datuk tetap tidak mundur. Melihat kekuatan lawan, pasti Datuk Sunggal bisa memperhitungkan hasilnya, bahwa perjuangan itu tidak mudah, namun dia tidak mau menyerah. Ia dengan rela menanggung risiko atas prinsip perjuangan yang dipikulnya dengan hukuman pembuangan hingga akhir hayatnya. Memang, perjuangan untuk masyarakat mewujudkan keadilan, persatuan, dan kemerdekaan tidak mudah, bahkan pada masa sekarang pun. Usaha itu memerlukan perjuangan panjang yang menuntut pengorbanan besar, baik waktu, materi, bahkan pengorban jiwa. Perjuangan Datuk Badiuzzaman telah menjadi inspirasi dan semangat bagi masyarakat pada zamannya dan bagi warga negara Indonesia pada masa kini, bahwa cita-cita emansipasi dan mewujudkan kesejahteraan bangsa ini tidak akan pernah selesai. Dalam konteks itulah, bangsa Indonesia menghargai dan tetap menjunjung tinggi semangat dan perjuangan Datuk dari Sunggal ini untuk diaktualisasikan pada masa kini.